Jumat, 02 Juli 2010

Bahaya Menggunjing

Bahaya Menggunjing

Muqoddimah

Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan inilah yang lebih banyak terjadi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

Mayoritas dosa seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]

Oleh karena itu lisan merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke dalam api neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]

Sesungguhnya penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut, lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi orang-orang yang jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya sangatlah besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama muslim)[4]

Betapa banyak persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan ghibah…???

Betapa banyak kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan ghibah...???

Betapa banyak permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???

Dan betapa banyak pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang dilakukannya…???

Serta betapa banyak orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang dilakukannya…???

Namun perkaranya adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah. Amiiin-

Banyak kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta'ala dengan baik, bisa menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun…..mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah

Berkata Ibnul Qoyyim, “Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]

Berkata Al-Ghozaali, “Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga pada sholat, akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan) harkat dan harga diri manusia”[7]

Sebagian orang yang dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru kepada sunnah, serta memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah –yang hal ini merupakan perkara yang sangat dituntut dalam syariat- namun yang sangat disayangkan, mereka tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah dan membicarakan kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa akhirnya menggibah saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh syari’at karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus sunnah.

Oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan hukum-hukum seputar penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah dan juga mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.


Allah ta'ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah menggambarkan orang yang berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di : “Kemudian Allah ta'ala menyebutkan suatu permisalan yang membuat (seseorang) lari dari gibah. Allah ta'ala berfirman :

}وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{

Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah ta'ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:

عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)

Dari Qois berkata : ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim Al-Hilaly berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]
Definisi ghibah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم  قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]

Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:

عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ  tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

Dari Hammad dari Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]

Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].

Adapun menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”,  “Dia pendek” dan lain sebagainya.

عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا

Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ  صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.

Dari ‘Aisyah beliau berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya” [16]

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ

Dari Jarir bin Hazim berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata :”Dia lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”[17]

Ibnu Sirin pernah berkata, “Jika seseorang benci jika engkau berkata kepadanya, “Rambutmu keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal itu”[18]

Adapun pada nasab misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.

Adapun pada agamanya, misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat keji.

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubunya”[19]

Adapun pada perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia” dan lain-lain.

Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan, mintalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan (tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]

Termasuk ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :

قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا

‘Aisyah berkata : “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian-sekian” [21]

Termasuk ghibah yaitu seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata :”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.

Demikian pula jika seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum -atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [22]

Ghibah itu bisa dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain. Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah ta'ala yang telah menjaga kita dari sifat pelit”, atau “Semoga Allah ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.


Ghibah dilakukan dalam hati ??!!


Berkata Al-Ghozaali –dalam sub judul “penjelasan pengharaman ghibah dengan hati”-,

((Ketahuilah bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram sebagaimana perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada orang lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu maka demikian juga tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu (tentang kejelekan-kejelekan saudaramu) dan engkau berprasangka buruk terhadap saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini melainkan adalah menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan kejelekan. Adapun hanya sekedar lintasan pikiran maka dimaafkan oleh Allah. Bahkan keraguan juga dimaafkan oleh Allah akan tetapi yang dilarang adalah (jika sampai pada tingkat) prasangka. Dan prasangka merupakan sesuatu keadaan dimana hati telah condong dan cenderung meyakininya.

Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (الحجرات : 12 )

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa (QS. 49:12)

Dan sebab pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah diketahui kecuali oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal ghoib. Maka tidak boleh engkau meyakini kejelekan pada diri orang lain kecuali jika engkau mengungkapnya dengan melihat dengan dua matamu sehingga tidak bisa ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak mungkin bagimu untuk meyakini kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihar. Adapun apa yang tidak engkau lihat dengan mata kepalamu dan tidak engkau dengar langsung dengan telingamu kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan saudaramu) maka ini berasal dari syaitan yang telah melemparkan prasangka tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau mendustakan syaitan karena dia adalah makhluk yang paling fasiq.

Allah telah beriman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ (الحجرات : 6 )

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya (QS. 49:6)
Maka tidak boleh bagimu untuk membenarkan iblis. Jika disana ada indikasi yang menunjukan akan keburukan (saudaramu) namun masih ada kemungkinan selain itu maka tidak boleh bagimu untuk membenarkannya karena orang fasik meskipun memang bisa jujur dalam menyampaikan berita akan tetapi tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Bahkan barangsiapa yang mencium bau mulut orang lain kemudian ia mendapatkan bau khomr (bir) maka tidak boleh baginya kecuali hanya berkata, “Mungkin orang ini hanya sekedar berkumur-kumur dengan khomr kemudian ia membuangnya dan tidak meminumnya”, atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum khomr”, dan hal ini menunjukan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung kemungkinan-kemungkinan maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berprasangka buruk kepadanya…. Maka tidak dibolehkan prasangka buruk kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya dihalalkan harta[24], yaitu dengan melihatnya secara langsung atau adanya persaksian dari orang-orang yang adil. Jika ia tidak memiliki perkara-perkara tersebut kemudian terlintas dalam benakmu was-was prasangka buruk maka hendaknya engkau menolaknya dari dirimu dan engkau menekankan pada hatimu bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup (tidak engkau ketahui) sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau lihat pada dirinya masih mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.

Jika engkau berkata, “Bagaimana diketahui perbedaan antara prasangka buruk dengan hanya sekedar ragu atau sekedar lintasan pikiran…??”. Kita katakan bahwasanya tanda adanya prasangka buruk yaitu berubahnya hatimu terhadap orang yang engkau prasangka buruk tersebut. Hatimu lari darinya dan merasa berat, dan malas untuk memperhatikannya atau mengecek keadaannya, memuliakannya, sedih dengannya. Ini merupakan tanda-tanda bahwa hatimu telah sampai pada tahap prasangka buruk.))[25]

Namun bagaimanapun juga penjelasan Al-Ghozali ini masih perlu diteliti kembali sebab sebagaimana yang telah lalu penjelasannya bahwasanya definisi ghibah adalah mencakup pengungkapan kejelekan saudara (baik dengan lisan ataupun dengan isyarat apapun yang bisa dipahami maksudnya) dihadapan orang lain tanpa sepengatahuan atau tanpa kehadiran saudaranya tersebut. Dan pernyataan bahwa prasangka buruk termasuk ghibah perlu ditinjau kembali, mengingat penulis belum menemukan perkataan ulama selain Al-Ghozaali yang memasukkan prasangka buruk dalam ghibah. Tentunya dosa ghibah tidak sama dengan dosa prasangka buruk. Wallahu A’lam bisshowaab



Model-model para pengghibah


Ibnu Taimiyah berkata -tatkala menjelaskan model-model para pengghibah-,

1.      Ada orang yang mengghibah untuk menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para sahabatnya,  atau karib kerabatnya. Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka katakan akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada mereka dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu. Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria

2.      Diantara mereka (para tukang ghibah) ada yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia berkata, “Jauhkanlah kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita dan dia”, namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka hendak menipu Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk (manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak seperti ini dan yang semisalnya[26].

3.      Diantara mereka ada yang menjatuhkan orang lain karena riya’ dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya”, padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya pandai dan lebih baik dari orang tersebut.

4.      Diantara mereka ada yang berghibah karena hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.

5.      Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.

6.      Diantaranya ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian dan demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut) dalam bentuk sikap keheranannya.

7.      Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..”. Maka orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya).  Model yang seperti ini dan juga yang lainnya merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.

8.      Diantara mereka ada yang menampakkan ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan[27]



Bagaimana jika yang dighibahi adalah orang kafir ?

Berkata As-Shon’ani : “Dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”. [28]

Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?

Berkata As-Shon’ani : “ Dan pada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.[29]

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent) yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek) sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”. [30]

Bagaimana jika yang dighibahi tidak diketahui orangnya?.

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwasanya ghibah yang haram adalah jika orang yang dighibahi tersebut jelas diketahui. Adapun jika tidak diketahui orangnya maka bukanlah merupakan ghibah yang haram karena hanyalah yang merasa tersakiti tatkala dighibahi adalah orang yang diketahui. Adapun jika tidak diketahui maka yang dighibahi tidak akan tersakiti dan tidak ada orang yang akan mengabarkan ghibahnya tersebut kepadanya karena ia tidak diketahui.[31]

Al-A’masy berkata, “Mereka (salaf) tidaklah memandang ghibah jika tidak disebutkan nama orang yang sedang disebutkan kejelekannya”[32]



Faktor-faktor pendorong timbulnya ghibah:

Berkata Al-ghozaali:

((Ketahuilah bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan tetapi semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya berlaku pada orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama dan orang-orang khusus.

Adapun yang delapan maka sebagai berikut:

1.      Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala kemarahan tersebut bergelora maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki (ghiroh) agama yang kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi timbulnya ghibah

2.      Untuk menyesuaikan diri dengan para sahabat dan sikap basa-basi terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia mengingkari perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka maka mereka akan bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan meninggalkannya. Maka iapun mendukung mereka dan ia memandang bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang yang sedang mereka ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama mereka sebagai untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.

3.      Ia merasa bahwa ada seseorang yang sentimen kepadanya dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera menjelek-jelekan orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas kemudian ia menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga kebohongannya inipun laris diterima karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian diapun menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan kebohongan-kebohongannya) seraya berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku, aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan kenyataannya sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian”

4.      Ia dituduh telah melakukan suatu keburukan maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan tersebut maka iapun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya untuk membela diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan bahwa ia tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia menyebutkan orang lain yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut dengan maksud sebagai pembukaan agar udzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia sendiri).

5.      Keinginan untuk menampilkan diri dan menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain seraya berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya lemah, perkataannya lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun mencela orang tersebut.

6.      Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh mereka. Maka iapun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya itu segera hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya karena ia merasa berat jika  mendengar pujian orang-orang terhadap saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya.  Inilah yang disebut hasad, dan hal ini berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena amarah akan mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik dan teman yang sejalan.

7.      Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu dengan tertawa lalu menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang tertawa (contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum dengan diri sendiri).

8.      Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan saudaranya. Hal ini bisa terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa terjadi tidak dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.

Adapun tiga sebab yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka perkaranya sangatlah pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan yang disembunyikan oleh syaitan dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada kebaikan namun syaitan mencampurnya dengan kejelekan.

1.      Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan menjadikannya mudah untuk menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut yang terbungkus dalam label keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari. Contohnya adalah perkataan seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana bisa ia mencintai budak wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku heran dengan si fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia adalah seorang yang jahil”

2.      Perasaan sayang dan kasihan terhadap seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang  tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan kasihan, kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan kasih sayangnya dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan tersebut untuk menghancurkan pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.

3.      Kemarahan karena Allah. Karena seseorang bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia melihatnya langsung atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa menampakkan kemarahannya tersebut kepada selain pelaku atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.

Inilah tiga perkara yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya serta sangat samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka bahwa sikap ta’jub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena Allah maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…)) [33]



Hukum ghibah


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga dirinya[34]

((فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا))  فَأَعَادَهَا مِرَارًا

((Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ngulangi perkataan beliau ini”[35]

Berkata Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada hari-hari yang lain sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini di tanah ini (tanah suci Mekah)…”[36]

Berkata Imam An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa (harta), dan kehormatan, dan untuk memperingatkan akan hal ini”[37]

Berkata Al-Munawi, “Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu (ucapanmu) maka janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudhorot kepada mereka”[38]

Sebagaimana kita tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta (seperti mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harga dirinya. Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan dicela.

Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.

Asy-Syaukani berkata -setelah menjelaskan pengharaman ghibah berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak-, “Jika telah jelas perkaranya bagimu maka engkau telah mengetahui bahwasanya ghibah termasuk kemungkaran yang paling keras dan keharaman yang paling besar. Oleh karenanya mengingkari pelaku ghibah adalah wajib bagi setiap muslim”[39]

Berkata As-Shon’aani, “Dan hadits-hadits yang memperingatkan akan bahaya ghibah sangatlah banyak sekali yang hal ini menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah”[40]

Namun terjadi khilaf diantara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termasuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil. Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang yang jelas menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”. Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar (tetapi) tidak menganggap bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia.” [41]

Berkata Syaikh Nasir As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12) ada peringatan keras terhadap gibah dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar karena diserupakan dengan memakan daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar”. [42]

Alasan mereka yang menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya perkataan mereka :”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.



Perkara-perkara yang menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar




(I) Ghibah termasuk riba yang paling parah, dan riba merupakan dosa besar

Imam Abu Dawud As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang ghibah)[43] sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hadits Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa hak[44]

Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi, أَرْبَى الرِّبَا  “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim, maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya, semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta” [45]

Berkata Ibnul Atsir, “Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta menggibahi mereka”[46]

Berkata Al-Baidhowi, “الاستطالة (Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya sebagaimana perkataannya kepadanya[47], atau lebih dari yang rukhsoh yang diberikan[48]. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at ataupun menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya dan lebih besar bahayanya dari pada harta” [49] Pelanggaran yang berkaitan dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan harta, oleh karena seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai daripada jika hartanya dicuri atau diambil dengan tanpa hak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً

"Satu dirham karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu, lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan." (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom :172, Ar-Roudl An-Nadzhir: 459, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami' 3375)
Asy-Syaukani mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan….dan seterusnya)), menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah. Karena maksiat yang senilai maksiat zina yang  merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang banyak (36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa maksiat tersebut telah melampaui ambang batas keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga diri saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah) orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan keledzatan dalam ucapannya tersebut dan tidak menambah hartanya serta tidak juga meninggikan kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar dari pada dosa orang yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari hal ini)....amin..amin.” (Nailul Author V/297)


(II) Pelaku ghibah disiksa dengan adzab yang sangat pedih

Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

”Pada malam isro’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau berkata :”Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.

Dalam riwayat yang lain :

قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”. (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)


(III) Ghibah merupakan penyebab siksa kubur

Imam Al-Bukhari membawakan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu di bawah bab Ghibah, beliau (Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu) berkata,

مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu ia berkata, “Sesungguhnya keduanya sedang di adzab, dan tidaklah keduanya disiksa karena perkara yang besar. Adapun yang ini ia tidak bersih tatkala buang air kecil, dan adapun yang ini ia berjalan sambil bernamimah” ( HR Al-Bukhari V/2249 no 5705 باب الغيبة)

Meskipun hadits ini tidak meyebutkan ghibah namun Imam Al-Bukhari membawakannya di bawah bab ghibah. Berkata Ibnut Tin, “Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah judul ghibah padahal yang disebutkan dalam hadits ini adalah namimah karena keduanya sama-sama merupakan bentuk penyebutan sesuatu yang dibenci oleh orang yang sedang dibicarakan dan dia sedang tidak hadir” (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).

Berkata, “Al-Kirmani, “Ghibah merupakan salah satu bentuk dari namimah, karena jika orang yang sedang dinukil perkataannya mendengar perkataan yang dinukil darinya maka akan menyedihkannya”(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).

Ibnu Hajar berkata, ((Ghibah terkadang terdapat dalam sebagian bentuk-bentuk namimah, yaitu jika ia menyebutkan saudaranya -dan ia tidak hadir- tentang perkara yang tidak disukai oleh saudaranya tersebut dengan maksud untuk menyebarkan kerusakan. Maka ada kemungkinan bahwa kisah tentang orang yang di adzab di kuburnya demikian kisahnya (yang disebutkan hanyalah namimah), dan ada kemungkinan juga bahwa Imam Al-Bukhari memberi isyarat kepada lafal yang terdapat pada beberapa jalan hadits yaitu lafal “ghibah” yang sangat jelas…[50],))[51]


(IV) Pelaku ghibah puasanya sia-sia.

Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya[52] serta berbuat kebodohan[53] maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya” (HR Al-Bukhori no 1903, 6057. Hadits ini diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/572 no 1200 pada bab الْغِيْبَةُ لِلصَّائِمِ “Ghibah yang dilakukan oleh orang yang berpuasa”)
Berkata Ibnu At-Thin,” Zohir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat ghibah tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat sebagian salaf[54]. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini bahwasanya gibah termasuk dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya maka seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya”.[55]

Abul ‘Aaliyah berkata, الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ مَالَمْ يَغْتَبْ وَإِنْ كَانَ نَائِمًا عَلىَ فِرَاشِهِ “Orang yang berpuasa berada dalam ibadah bahkan meskipun ia sedang tidur selama tidak berbuat ghibah”[56]


Hukum mendengarkan ghibah

Berkata Imam Nawawi dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu.

Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.

Jika dia berkata dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).

Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah ta'ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis”[57]. Allah ta'ala berfirman :

وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ

Dan apabila kalian melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum yang dzolim. (Al-An’am 68)

Benarlah perkataan seorang penyair…

وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ      كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ

فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ                       شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ

Dan pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan

Sebagaimana menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.

Sesungguhnya ketika engkau mendengarkan kejelekan,

Engkau telah sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah

Dan meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah ta'ala:

وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ

Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya. (Al-Qosos : 55)

وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun :3)


Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ  رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ

Dari Abu Darda’ radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya. (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)


Dan demikinlah pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang digibahi mereka membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut :

عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ  رضي الله عنه قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ

Dar ‘Itban bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab :”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah (Bukhori dan Muslim)

عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً  رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ  صلى الله عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رضي الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم

Ka’ab bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan Ka’ab ?”, maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal radliyallahu ‘anhu berkata : “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam. (Bukhori dan Muslim)



Bertaubat dari ghibah


Berkata Syaikh Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini para ulama berselisih. Diantara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang ke dia (yang digibahi) dan berkata kepadanya :”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia, maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”. Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke dia, tetapi ada perincian : Jika yang digibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia” sebagaimana yang terdapat dalam hadits :

كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ

Kafarohnya orang yang kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya[58]

Berkata Ibnu Katsir :”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…”[59]

Berkata Ibnul Qoyyim, “Yang benar yaitu tidak perlu untuk memberitahu kepada yang dighibahi, akan tetapi cukup dengan beristighfar (bagi yang dighibahi) dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dulu ia menghibahinya. Dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[60] dan yang lainnya[61]. Mereka yang berpendapat harus mengabarkan orang yang dighibahi (bahwa ia telah menggibahnya) menjadikan ghibah seperti hak-hak yang berkaitan dengan harta, padahal perbedaan antara keduanya jelas. Hak-hak yang berkaitan dengan harta, orang yang dizholimi akan mendapatkan manfaat dengan kembalinya haknya kepadanya, jika dia ingin maka bisa ia ambil atau ia sedekahkan. Adapun ghibah maka hal ini tidaklah mungkin, dan hal ini terwujudkan dengan mengabarkan kepada yang dighibahi kecuali akibatnya bertolak belakang dengan tujuan Syari’at. Karena pengabaran ini akan memanaskan hatinya dan menyakitinya jika ia mendangar tuduhan-tuduhan yang terlontarakan kepadanya. Bahkan bisa jadi akan mengobarkan permusuhan dan tidak akan hilang selama-lamanya. Maka keadaan yang seperti ini tidak akan diperbolehkan oleh syari’at yang bijaksana dan tidak akan dibenarkan, apalagi sampai diperintahkan dan diwajibkan. Dan tujuan syari’at berputar sekitar  peniadaan mafsadah-masadah dan meminimalisirnya, bukan untuk menimbulkan mafsadah dan menyempurnakannya”[62]

Berkata Al-Hasan Al-Bashri, كَفَّارَةُ   الْغِيْبَةِ   أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ “Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi”[63]
Cara menghindarkan diri dari ghibah

Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman :

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.(Q 18)

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً

Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban) (Al-Isro’ 36)

Hendaknya sebelum berucap kita renungkan dahulu akibat yang timbul dari ucapan-ucapan kita. Ibnul Qoyyim berkata, “Adapun menjaga ucapan-ucapan maka caranya adalah janganlah seseorang sampai mengeluarkan sebuah lafalpun dengan sia-sia. Bahkan janganlah ia berbicara kecuali tentang sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau tambahan bagi agamanya. Jika ia hendak mengucapkan suatu perkataan maka hendaknya ia renungkan terlebih dahulu, apakah perkataan tersebut mendatangkan keuntungan dan berfaedah atau tidak?. Jika tidak ada untungnya maka hendaknya ia menahan lisannya dan tidak mengucapkannya. Kemudian jika pada perkataan tersebut ada keuntungannya maka ia renungkan lagi apakah ia bisa mengungkapkannya dengan perkataan lain yang lebih baik dan berfaedah daripada perkataan yang pertama?, jika ada maka janganlah sia-siakan perkataan tersebut dan lantas mengucapkan perkataan pertama (yang kurang faedahnya)..”[64].

Dan jika kita tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟

Bukankah tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka ?


Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ

Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[65]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ

Dari Abu Huroiroh radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu”. (Bukhori)

Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ  رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Dari Sahl bin Sa’d radliyallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)


Berkata Imam Nawawi : “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” [66]

Berkata Imam Syafi’i :

اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ      لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ

كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ      كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ

Jagalah lisanmu wahai manusia

Janganlah lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular

Betapa banyak penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya

Padahal dulu orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya



Sebagian orang tidak bisa mengendalikan lisannya, tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tidak peduli siapapun yang sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia jatuhkan harga dirinya, tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.

Apalagi ghibah yang ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.

Berkata Al-Qurthubhi, “..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang), karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika disinggung (cacat) tubuhnya”[67]

Bahkan para ulamapun tidak selamat dari lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat dari lisannya bahkan ulama masa lalupun tidak selamat dari lisannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka dan ia tidak perduli dengan perkataan tersebut maka iapun terjerumus dalam neraka Jahannam”[68]

Dia tidak tahu bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan  dan ia lecehkan kedudukannya disisi Allah sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut yang terasa sangatlah ringan di lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ (النور : 15 )

Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15)

Ia tidak tahu bahwa satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut atau merendahkan kedudukannya dan harga dirinya bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang banyak yang seukuran gunung yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh perjuangan dan keletihan…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian apa yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka”[69]


Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya si fulan telah mengghibahmu. Maka beliaupun mengirim sepiring makanan yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya tersebut lalu berkata kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau telah menghadiahkan (pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku maka aku ingin membalas kebaikanmu tersebut”[70]

Berkata seorang penyair:

يُشَارِكُ لَكَ الْمُغْتَابُ فِي حَسَنَاتِهِ      وَيُعْطِيْكَ أَجْرَ صَوْمِهِ وَصَلاَتِهِ

فَكَافِهِ بِالْحُسْنَى وَقُلْ رَبِّ جَازِهِ             بِخَبْرٍ وَكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ

فَيَا أَيُّهَا الْمُغْتَابُ زِدْنِي فَإِنْ بَقِيَ        ثَوَابُ صَلاَةٍ أَوْ زَكاَةٍ فَهَاتِهِ

Orang yang mengghibahmu bersamamu bersyerikat dalam memiliki kebaikan-kebaikannya

Dan ia menghadiahkan kepadamu pahala puasa dan sholatnya

Maka hendaklah engkau membalasnya dengan kebaikan dan katakanlah, “Wahai Tuhanku balaslah dia dengan kebaikan dan hapuslah dosa-dosanya”

Wahai orang yang menggibahku tambahlah hadiahmu kepadaku…

Jika masih tersisa pahala solatmu dan zakatmu maka berikanlah kepadaku.

Orang yang menyadari akan berharganya sebuah kebaikan di akhirat kelak tatkala amalannya ditimbang dihadapan Allah Yang Maha Adil maka ia tidak akan rela satu kebaikannyapun diambil oleh orang lain pada hari kiamat kelak, apalagi banyak kebaikan-kebaikannya yang diambil !!. Oleh karena itu ia tidak akan rela mengghibah saudaranya yang mengakibatkan kebaikan-kebaikannya diambil oleh saudaranya yang ia ghibahi tersebut pada hari kiamat.

Dari Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya ada seseorang yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau telah mengghibahku!”. Maka beliau berkata, ماَ بَلَغَ قَدْرُك عِنْدِي أَنْ أُحَكِّمَكَ فِي حَسَنَاتِي “Kedudukanmu tidaklah cukup di sisiku sehingga aku membiarkan engkau berhukum (seenaknya) pada (pahala) kebaikan-kebaikanku”[71]

Berkata Imam An-Nawawi, “Kami telah meriwayatkan dari Ibnul Mubarok bahwasanya ia berkata, لَوْ كُنْتُ مُغْتَاباً أَحَداً لاَغْتَبْتُ وَالِدَيَّ لأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِحَسَنَاتَي “Kalau seandainya aku mengghibahi seseorang maka aku akan menggibahi kedua orangtuaku karena mereka berdualah yang lebih berhak (untuk memeperoleh) kebaikan-kebaikanku”[72]

Kalau maksiat yang ia lakukan berkaitan antara ia dan Allah maka Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah, mudah bagi Allah untuk mengampuninya jika Ia menghendaki. Namun jika kedzoliman berkaitan dengan hak manusia….ketahuilah bahwa semuanya membutuhkan hasanaat (kebaikan) pada hari kiamat…, semuanya butuh untuk menyelamatkan dirinya dari api neraka…

Berkata Ibnu Taimiyah, “Adapun hak orang yang terdzolimi maka tidaklah gugur hanya dengan sekedar bertaubat…barangsiapa yang bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah gugur hak orang yang terdzolimi dengan taubatnya tersebut, akan tetapi merupakan kesempurnaan taubatnya hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan yang seperti kedzoliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut di dunia maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang berbuat dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik hingga jika orang-orang yang didzoliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya (kelak diakhirat sebagai penebus hak-hak mereka) maka ia tidak jadi orang yang bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka tidak ada yang menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk mengampuni dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia kehendaki…

Dan ghibah merupakan kedzoliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman

} أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{

Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)

Allah telah memperingatkan kaum mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan kedzoliman…”[73]

Tidakkah ia tahu bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah,  Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagiNya?, tidakkah ia tahu bahwasanya bahwa orang yang ia ghibahi dan ia lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah para hari kiamat kelak…??

Bagaimana lagi jika ia telah mengghibah orang banyak…??

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ

“Kalian akan menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing yang bertanduk diqishos untuk kambing yang tidak bertanduk”[74]

Tidakkah ia tahu bahwa…

إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kedzoliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat”[75]

Oleh karena itu karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang muslim tanpa hak maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang melakukan kedzoliman kepada seseorang baik berkaitan dengan harga dirinya atau yang lainnya maka hendaknya ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan tidak juga dirham. Jika ia memiliki amalan sholeh maka akan diambil darinya sesuai dengan ukuran kedzolimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil kejelekan-kejelekan orang tersebut dan dipikulkan kepadanya”[76]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadits ini menunjukan bahwa perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang dibenarkan merupakan perbuatan yang berbahaya.

Berkata Sufyan bin Husain, “Aku menyebutkan kejelekan seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka iapun memandang ke wajahku dan berkata, “Apakah engkau telah berjihad melawan negeri Romawi?”, aku berkata, “Tidak”, beliau berkata, “Engkau telah berjihad melawan Sind, India, dan Turki?”, aku berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah (orang-orang kafir) dari Romawi, Sind, India, dan Turki selamat dari (kejahatanmu) dan saudaramu sesama muslim tidak selamat dari kejahatan (lisan)mu?”. Berkata Sufyan, “Maka aku tidak pernah menggibah lagi setelah itu”.[77]

Renugkanlah perkataan Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki berikut ini, “Ketahuilah bahwasanya penyebab timbulnya ghibah adalah karena tazkiyatun nafs (merasa diri sudah suci) dan ridho dengan diri. Karena engkau hanyalah merendahkan orang lain (saudara) karena ada keutamaan yang kau dapati pada dirimu (dan tidak terdapat pada saudaramu itu). Engkau hanya menggibahnya dengan menyebutkan perkara-perkara kejelekan yang engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut, dan engkau tidak akan menggibahnya dengan menyebutkan aibnya kecuali aib-aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak. Dan ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan disetujui) kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu. Jika seandainya engkau memikirkan bahwasanya kekurangan yang terdapat pada dirimu lebih banyak maka engkau akan meninggalkan mengghibahnya dan engkau akan merasa malu kalau sampai mengghibahnya karena aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak daripada aib yang engkau sebutkan pada saudaramu itu. Kalau engkau mengetahui bahwasanya dosa yang kau lakukan merupakan dosa yang besar karena telah mengghibahnya dan engkau menyangka bahwa engkau bebas dari aib-aib maka niscaya engkau tidak akan mengghibahnya dan engkau akan sibuk memikirkan aib-aibmu sendiri dan tidak sibuk mengurusi aib-aibnya…maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari penyakit ghibah sebagaimana engkau berhati-hati dari malapetaka ang sangat besar yang akan menimpamu. Karena sesungguhnya ghibah jika datang menimpa seseorang dan mengakar di hati serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah menempati hatinya maka ghibah tidaklah akan ridho (rela) untuk tinggal sendirian di hatinya hingga sang hati memperluas tempat tinggal untuk saudara-saudara ghibah yaitu namimah, al-baghyu, berprasangka buruk, dusta, dan kesombongan. Orang yang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya, orang yang bijak tidak akan ridho dengan hal seperti ini. Seorang wali Allah tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di hatinya…”[78]


Ghibah yang dibolehkan

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan ghibah itu” [79]

Dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ         مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ

وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ         وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok

Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan

Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa

Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Pertama : Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata : “Si fulan telah menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah :

لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ

Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya. (An-Nisa’ 148).


Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[80]

Kedua : Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah harom.

Ketiga : Meminta fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang mufti : “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti) : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ

Dari ‘Aisyah berkata :Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [81]

Keempat : Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya :

Apa yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at.[82] Seperti perkataan ahlul hadits :”Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.

Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah binti Qois.

عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)

Fatimah binti Qois berkata : Saya datang kepada Nabi r dan berkata :Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi r berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”[83]

Dan jika nasehat hukumnya wajib untuk memperoleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi orang-orang tertentu (sebagaimana pada hadits-hadits di atas) maka bagaimanakah dengan nasehat yang berkaitan dengan banyak orang?, tidak diragukan lagi maka hukumnya lebih wajib lagi. Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan para perawi hadits. Berkata Yahya bin Sa’id, “Aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’ad –dan aku rasa- juga Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh berdusta dalam hadits atau seorang perawi yang tidak hafal?”, mereka berkata, بَيِّنْ أَمْرَهُ “Jelaskanlah perkaranya”. Ada orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku merasa berat untuk berkata si fulan demikian, si fulan demikian…”. Maka Imam Ahmad berkata,  إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَتَى يَعْرِفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ “Jika engkau diam (tidak menjelaskan) dan aku juga diam (tidak menjelaskan) maka kapankah orang jahil membedakan antara yang benar dari yang salah?!”.

Contohnya juga (yang berkaitan dengan kemaslahatan orang umum) adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan pemuka-pemuka bid’ah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan model-model ibadah baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadits maka menjelaskan kesalahan mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka hukumnya adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.[84]

Berkata Ibnul Qoyyim, “Perbedaan antara nasehat dan gibah adalah tujuan dari nasehat adalah untuk memperingatkan seorang muslim dari (bahaya) seorang mubtadi’,….maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi’ tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu karena ingin bersahabat dengan mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah dengannya atau ingin berhubungan dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Qois….

Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah, RasulNya, dan hamba-hambaNya kaum muslimin maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu dan untuk mengoyak kehormatannya dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya) serta untuk merendahkan dirinya agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang maka ini merupakan penyakit yang bahaya dan api yang membakar kebaikan-kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar”[85]

Kelima : Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ

‘Aisyah berkata : Seseorang datang minta idzin kepada Nabi r, maka Nabi r bersabda :”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. [86]
Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.[87]

Keenam : Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian

Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :

1.      Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haromnya ghibah.

2.      Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pen). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [88]


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 27 Dzulhijjah 1426 (27 Januari 2006)

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja


Maroji’:


1. Kitab As-Somt, karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
2. Syarah Riadlus Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
3. Taisir Karimir Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4. Bahjatun Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
5. Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6. Al-Muntaqo Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab tahrimul ghibah
7. Tuhfatul Ahwadzi
8. Kitabuz Zuhud, karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
9. Majmu’ Fatawa, karya Ibnu Taimiyah
10. Fat-hul Bari, karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhibbuddin Khathib, Darul Ma’rifah
11. Nailul Author, karya As-Syaukani, Darul Jil Beiruth
12. Subulus Salam, karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad bin Yusuf Al-Khowali, cetakan ke empat Dar Ihyaa At-Turots Al-‘Aroni.
13. Taudlihul Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
14. Hajrul Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
15.  Ar-Ruuh, Ibnul Qoyyim, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
16.  Wafayaatul A’yaan wa  Anbaa’ Abanaaiz zamaan, karya Ibnu Khallikaan, tahqiq Ihsan Abbas, Daruts Tsaqoofah Lubnan
17.  Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, Maktabah Ma’arif Beiruut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah- Beiruut
18.  Al-Jawab Al-Kaafi, Ibnul Qoyyim
19.  Az-Zuhud, Hannad bin As-Sari Abus Sari, tahqiq Abdurrahman Abdul Jabbar Al-Firyawaa’i, cetakan peratama Darul Khulafaa’ lilkitaab al-Islaami
20.  Ihyaa’ Ulumiddiin, Abu Hamid Al-Ghozaali, Darul Ma’rifah
21.  As-Sailul Al-Jarror, Asy-Syaukaani tahqiq Mahmud bin Ibrohim Zayid, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
22.  Al-Madkhol, Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki, Darul Fikr
23.  Al-Furuq, Al-Qorofi, tahqiq Kholil Al-Manshur, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
Catatan Kaki:

[1] Hadits Shahih dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 534)

[2] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”

[3] Sebagaimana yang bisa kita saksikan bersama, jika ada sebuah majelis yang dibumbui dengan ghibah maka majelis tersebut terasa semarak dan asyik didengarkan oleh para hadirin, Wal’iyadzu billah

[4] Sebagaimana akan datang definisinya

[5] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarokfuuri dalam Tuhfatul Ahwadzi VI/54

[6] Al-Jawaabul Kaafii hal 111

[7] Ihyaa Ulumiddiin III/143

[8] Taisir karimir Rohman tafsir surat Al-Hujurot :12

[9] Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748

[10] Bahjatun Nadzirin 3/6

[11] Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain

[12] Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”

[13] Berkata Al-Qorofi, “lafal مَا (pada hadits ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ) termasuk bentuk yang memberikan faedah keumuman  maka mencakup seluruh yang dibenci oleh saudaramu” (Al-Furuuq IV/359)

[14] (Bahjatun Nadzirin 3/6)

[15] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”)

[16] yaitu merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189

[17]  Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini: “Rijalnya tsiqoh”

[18] Diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 pada bab “Al-Ghibah” no 1186

[19] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337

[20] Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748

[21] maksudnya walaupun saya mendapatkan keduniaan yang banyak. (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)

[22] Bahjatun Nadzirin 3/26

[23]  (Bahjatun Nadzirin 3/27)

[24] Maksudnya yaitu seseorang tidak bisa menyatakan bahwa harta yang berada pada orang lain adalah miliknya kecuali jika mendatangkan persaksian orang-orang yang adil.

[25] Ihyaa’ Ulumiddiin III/150-151

[26] Ini di zaman Ibnu Taimiyah, bagaimana lagi jika Ibnu Taimiyah hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita lakukan??? Allahul musta’aan

[27] Majmu’ fatawa XXVIII/236-238

[28] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).

[29] (Subulus salam 4/299)

[30] (Bahjatun Nadzirin 3/47)

[31] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj XV/222, tatkala beliau menyarah hadits Ummu Zar’

[32] Sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 no 1187

[33] Ihyaa’ Ulumiddiin III/146-148

[34] HR Muslim IV/1986 no 2564

[35] HR Al-Bukhari II/619 no

[36] Tuhfatul Ahwadzi VI/313

[37] Al-Minhaj (Syarh An-Nawawi) XI/169

[38] Faidhul Qodiir I/523

[39] As-Sail Al-Jarror IV/595

[40] Subulus Salam IV/194

[41] (Subulus Salam 4/193)

[42] (Taisir karimir Rohman, tafsir surat Al-Hujurot 12)

[43] Demikian juga diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud pada bab “Ghibah”. (Az-Zuhud II/563)

[44] HR Abu Dawud IV/269 no 4876. Berkata Ibnu Hajar, “Dan hadits Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki syahid sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah” (Al-Fath X/470). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3950

[45] ‘Aunul Ma’bud XIII/152

[46] An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145

[47] Maksudnya jika orang muslim tersebut mencelanya maka hendaknya ia membalas dengan semisalnya tanpa menambah lebih dari itu, karena itu berarti ia seperti telah melakukan riba karena mengmbil lebih banyak daripada yang diterimanya.

[48] Yaitu syari’at memberi beberapa rukhsoh (keringanan) untuk melakukan ghibah atau untuk mencela harga diri seseorang, namun ini adalah merupakan keringanan yang keluar dari hukum asal. Maka tidaklah boleh bagi seseorang mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh Syari’at.

[49] Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531

[50] Ibnu Hajar melanjutkan perkataannya:

“…yaitu yang dikeluarkan oleh beliau (Imam Al-Bukhari) di kitab Al-Adab Al-Mufrod dari hadits Jabir y, beliau berkata, “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau melewati dua buah kuburan…lalu ia menyebutkan seperti hadits Ibnu Abbas y…lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun salah satu dari keduanya mengghibahi orang-orang…”. Imam Ahmad dan Ath-Thobroni mengeluarkan dengan isnad yang shahih dari Abi Bakroh, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kubur lalu berkata, “Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa, dan tidaklah mereka berdua diazab karena perkara yang besar”, lalu beliau menangis…dan dalam hadits tersebut beliau berkata, وما يعذبان إلا في الغيبة والبول  “Dan tidaklah mereka berdua disiksa kecuali karena ghibah dan kencing”. Ahmad dan At-Thobroni juga mengeluarkan hadits dari Ya’la bin Syababah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kuburan yang penghuninya sedang disiksa lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, إن هذا كان يأكل لحوم الناس “Sesungguhnya ini dahulunya memakan daging manusia …dan para perawinya tepercaya. Dan Abu Dawud At-Thoyalisi mengeluarkan semisalnya dari Ibnu Abbas t dengan sanad yang jayyid (baik), dan juga dikeluarkan oleh At-Thobroni dan ada syahidnya dari Abu Umamah sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Ja’far At-Thobari di tafsirnya. Dan memakan daging manusia cocok untuk namimah dan ghibah. Dan yang dzohir adalah kisahnya terjadi satu kali dan ada kemungkinan kisahnya terjadi beruang-ulang” (Fathul Bari X/470-471)

[51] Fathul Bari X/470-471

[52] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)

[53] Syaikh Abdullah Al-Fauzan menjelasakan,”Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang budoh seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya” (Ahaditsu siyam hal 74)

[54] Diantaranya adalah Anas bin Malik sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1204. Anas berkata, “Jika seseorang yang berpuasa berbuat ghibah maka ia telah berbuka”

[55] Fathul Bari X/473, meskipun Ibnu Hajar kurang setuju dengan pendalilan Ibnu At-Tin dengan hadits ini (karena hadits ini tidak menyebutkan tentang ghibah akan tetapi hanya menyebutkan perkataan dusta), namun Ibnu Hajar setuju tentang hukum yang disebutkan oleh Ibnu At-Thin bahwasanya orang yang berpuasa dan berghibah maka ia tidak mendapatkan pahala puasanya karena dosa ghibahnya tidak sebanding dengan pahala puasa yang diraihnya. (Fathul Bari X/473). Hal ini jalas menunjukan bahwa dosa ghibah sangatlah besar hingga memakan pahala puasa yang sangat besar !!!

[56] Diriwayatkan oleh Hannad dalam kitabnya Az-Zuhud II/573 no 1201

[57] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)

[58] (Syarah Riyadlus Sholihin 1/78) (Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt no 291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata As-Subki :”Dalam sanad hadits ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah menolak (isi) hadits ini karena dia adalah (menyangkut) hak seorang manusia maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas diri, oleh karena itu dia (si pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan tersebut), maka berkata sebagian ulama : “Dia (si pengghibah) memohon ampunan untuk yang dighibahi”).

[59] (Tafsir Ibnu Katsir 4/276)

[60] Lihat Majmu’ Fatawa III/291

[61] Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Majmu’ fatawa XVIII/189)

[62] Wabilus Shoyyib 219, Pasal 65

[63] Majmu’ fatawa XVIII/189

[64] Al-Jawab Al-Kaafi hal 110-111

[65]  (Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”)

[66] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)

[67] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337

[68] HR Al-Bukhari V/2377 no 6113

[69] HR Muslim IV/1997 no 2581

[70] Wafayaatul A’yaan wa anbaa’ abnaauz zamaan II/71

[71] Al-Adzkaar hal 791

[72] Al-Adzkaar hal 791

[73] Majmu’ fatawa XVIII/187-189

[74] HR Muslim IV/4997 no 2582

[75] HR Muslim IV/1996 no 2579

[76] HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga V/2394 no 6169

[77] Al-Bidayah wan Nihayah IX/336

[78] Al-Madkhol III/69

[79] (Bahjatun Nadzirin 3/33).

[80] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)

[81] (Riwayat Bukhori dalam Al-Fath  9/504,507, dan Muslim no 1714)

[82] Sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf ketika memperingatkan umat dari bahayanya para ahlul bid’ah, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk memperbaiki Islam dan kaum muslimin :”..Seperti para imam kebid’ahan yaitu orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada Imam Ahmad :.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah ?”. Maka beliau menjawab :” Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula. (Al-fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)

[83] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat :(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)

[84] Lihat penjelasana Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/230-231

[85] Ruh hal 240

[86] (Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi r tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)

[87] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan :Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)

[88] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)

artikel diambil dari http://www.firanda.com/
silahkan kunjungi alamat lengkapnya disini

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih