Jumat, 17 Desember 2010

Tuntunan Pemberian Nama

Tuntunan Pemberian Nama

Pendahuluan
Hak Sang Ayah
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa ayah lebih berhak memberi nama kepada bayi, dan ibu tidak boleh merampas hak ini dari ayah. Apabila timbul perselisihan antara ayah dan ibu dalam pemberian nama, maka ayah lebih dikedepankan. Namun sebaiknya ada musyawarah antara kedua orangtua untuk mendapat kesepakatan, guna menjaga keutuhan dan mempererat ikatan antara suami istri.
Atau ketika sang suami bersedia untuk mengundi (azlaam), diantara nama yang dipilih suami dan istri, maka hal ini juga tidak mengapa dilakukan karena sebagai solusi yang dapat menghilangkan perbedaan dan dapat melegakan hatu kedua belah pihak.
Sang ayah pun disarankan untuk bermusyawarah dengan seorang alim ketika memilih nama untuk bayinya karena para sahabat dulu menunjukkan bayi-bayi mereka yang baru lahir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memberi nama seperti tercantum dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, Al-Mundzir bin Abi Usaid dan Abdullah bin Abi Thalhah
Hal ini menunjukkan bahwa seorang ayah dianjurkan untuk memperlihatkan anaknya dan bermusyawarah dengan seorang yang alim tentang sunnah dari kalangan ahli sunnah yang agama dan ilmunya dapat dipercaya agar ditunjuki nama yang terbaik untuk si bayi.
Adab Memilih Nama
Al-Mawardi rahimahullah berkata dalam Kitab Nashiihatu al-Muluuk intiya, “Apabila seorang bayi lahir maka kemuliaan dan kebaikan yang pertama kali diberikan kepadanya adalah memilihkan untuknya nama yang baik dan kunyah yang lembut serta mulia. Sebab nama yang baik dapat menyentuh hati seseorang ketika mendengar nama tersebut.
Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan ketika memilih nama:
  • Nama tersebut diambil dari nama-nama orang-orang shalih dari kalangan nabi, rasul dan orang shalih lainnya. Maksudnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mencintai dan menghidupkan nama mereka serta melaksanakan apa yang dicintai Allah dengan memilih nama para wali yang telah membawa agama-Nya.
  • Nama yang singkat, hurufnya sedikit dan mudah diucapkan serta mudah dihafal.
  • Maknanya bagus, sesuai dengan kondisi orangnya, derajat agama serta martabatnya.
Syaikh Abu Bakar Abu Zaid hafizhahullah berkata:
  • Memperhatikan nama-nama yang sesuai dengan derajat dan qabilahnya merupakan ikatan kekeluargaan serta kerukunan antar marga.
  • Sementara memperhatikan nama-nama orang yang seagama dengannya merupakan ikatan yang dilandasi agama dan iman.
  • Sedangkan memperhatikan nama-nama orang yang semartabat dengan dirinya, merupakan ikatan moral dengan menempatkan diri pada posisi yang pantas sehingga tidak terkesan aneh dan asing. Allahu a’lam.
Nama-Nama yang Disunnahkan untuk Diberikan kepada Bayi:
  1. Nama Abdullah dan Abdurrahman berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
    إِنَّ أَحَبَّ أَسمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبدُاللَّهِ وَ عَبدُ الرَّحْمَنِ
    “Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132)
    Karena nama tersebut adalah nama terbaik, sampai-sampai di kalangan para sahabat terdapat sekitar 300 orang yang bernama Abdullah.
  2. Nama yang menunjukkan penghambaan diri terhadap salah satu dari nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla, seperti Abdul Malik, Abdul Bashiir, Abdul ‘Aziz dan lain-lain.Namun perlu diketahui di sini bahwa hadits, “Sebaik-baik nama adalah yang dimulai dengan kata “Abd (hamba)” dan yang bermakna dipuji” bukanlah hadits shahih bahkan tidak diketahui darimana asal-usulnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.
  3. Bernama dengan nama para nabi dan rasul. Mereka adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang paling mulia dan memiliki amalan yang paling bersih. Diharapkan dengan memberi nama seorang anak dengan nama nabi ataupun rasul dapat mengenang mereka juga karakter dan perjuangan mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah menamakan anaknya dengan nama Ibrahim, nama ini juga beliau berikan kepada anak sulung Abu Musa radhiallahu ‘anhu dan beliau juga menamakan anak Abdullah bin Salaam dengan nama Yusuf.Adapun hadits tentang keutamaan orang yang bernama Ahmad atau Muhammad tidak ada yang shahih. Ibnu Bukair al-Baghdadi menyusun sebuah kitab tentang keutamaan orang yang bernama Ahmad atau Muhammad, dan pada kitab tersebut beliau menyertakan 26 hadits yang tidak shahih. Wallahu a’lam.
  4. Memberi nama dengan nama orang-orang shalih di kalangan kaum muslimin terutama nama para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits shahih dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Mereka dahulu suka memakai nama para nabi dan orang-orang shalih yang hidup sebelum mereka.” (HR. Muslim no. 2135)
  5. Memilih nama yang mengandung sifat yang sesuai orangnya (namun dengan syarat nama tersebut tidak mengandung pujian untuk diri sendiri, tidak mengandung makna yang buruk atau mengandung makna celaan), seperti Harits (orang yang berusaha) dan Hammam (orang yang berkeinginan kuat).Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang dha’if dari Abu Wahb al-Jusyami bahwasannya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pakailah nama para nabi, nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman, yang paling benar adalah nama Harits dan Hammam dan yang paling jelek nama Harb dan Murrah.” (HR. Abu Daud dan An Nasai. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi sebagaimana disebutkan dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1977)
Nama-nama yang makruh untuk diberikan kepada bayi:
  1. Dimakruhkan memberi nama yang mengandung arti keberkahan, kebaikan atau yang menimbulkan rasa optimis, seperti nama Aflaha (beruntung), Naafi‘ (bermanfaat), Rabaah (keuntungan), Yasaar (kemudahan) dan lain-lain. Fungsinya agar tidak menimbulkan ganjalan dalam hati ketika yang dipanggil tidak berada di tempat sehingga dikatakan, “;Tidak ada”, sehingga seakan-akan mengatakan bahwa (misalnya) “Keberuntungan tidak ada”.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    و لا تُسَمِّيَنَّ غُلَامَكَ يَسَارًا وَ لاَ رَبَاحًا وَ لاَ نَجِيحًا وَ لاَ أَفْلَحَ, فَإِنَّكَ تَقُولُ : أَثَمَّ هُوَ؟ فَلاَ يَكُونُ فَيَقُولُ: لاَ
    “Jangan kalian namai hamba sahaya (atau anak) kalian dengan nama Yasaar, Rabaah, Najiih dan Aflaha. Sebab apabila kamu bertanya, “Apakah dia ada?” Jika ternyata tidak ada maka akan dijawab, “Tidak ada.” (HR. Muslim no. 2137)
    Maksud hadits di atas adalah misalnya apabila si hamba bernama Rabaah (beruntung), lalu ditanya, “Apakah Rabaah (keberuntungan) ada di sana?” Jika ternyata tidak ada maka akan dijawab, “Rabaah tidak ada (tidak ada keberuntungan).” Oleh karena itu nama seperti itu dimakruhkan.
  2. Dimakruhkan memberi nama yang mengandung tazkiyah (pujian terhadap diri sendiri), seperti Barrah (wanita yang baik dan berbakti) dan Mubaarak (yang diberkahi), padahal boleh jadi orangnya tidak demikian. Dalam hadits, Muhammad bin Amr bin ‘Atha ia berkata,”Putriku aku beri nama Barrah. Lalu Zainab binti Abu Salamah berkata kepadaku,’Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang menggunakan nama ini. Dahulu aku bernama Barrah, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Janganlah kalian memuji diri sendiri! Sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapa yang baik di antara kalian.” (HR. Muslim) Termasuk pula contoh dalam hal ini adalah nama Iman. Syaikh Utsaimin menjelaskan, “Nama Imaan mengandung unsur pujian terhadap diri sendiri. Oleh karena itu tidak pantas kata Iman dijadikan sebagai nama sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah mengganti nama Barrah (yang berbakti) karena mengandung makna pujian terhadap diri sendiri. (Majmu’ ats-Tsamiin (1/143))
  3. Dimakruhkan memberi nama dengan kata benda dan sifat musyabbah (menunjukkan arti “paling” atau “ter”) yang disandarkan kepada lafazh “diin” (agama) atau “Islam”, seperti nama Dhiyaauddin (cahaya agama), Nuuruddin (cahaya agama), Saiful Islam (pedang Islam), Zainul ‘Abidin (perhiasan orang-orang yang ahli ibadah).
  4. Makruh memberi nama dengan nama yang arti atau lafazhnya mengandung kesan jelek dan negatif. Contohnya, Harb (perang), Murrah (pahit), Kalb (Anjing), Hayyah (ular), Jahsy (kasar), Baghal (kuda poni atau keledai) dan yang semisalnya.Syaikh Nashiuruddin berkata dalam Silsilatu al-Haadits ash-Shahihah (1/379), “Di antara nama jelek yang bayak dipakai orang sekarang dan harus segera diganti seperti: Wishaal (senggama), Sihaam (panah), Nehaad (gadis montok), Ghaadah (gadis yang lembut), Fitnah (daya tarik) dan yang semisalnya.” Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Makruh hukumnya memberi nama denga nama yang memberi kesan hewani atau berhubungan dengan syahwat. Nama-nama seperti ini banyak diberikan kepada anak-anak perempuan, contohnya, Ahlaam (impian), Ariij (wangi semerbak), ‘Abiir (yang menitikkan air mata), Ghaadah, Fitnah, Faatin (yang menggiurkan), Syaadiyah (biduanita) dan lain-lain.”
  5. Makruh hukumnya sengaja memakai nama orang-orang fasik, tidak punya malu, artis, penari dan para musisi batil lainnya.
  6. Makruh hukumnya memakai nama orang-orang zhalim dan diktaktor seperti nama Fir’aun, Qaarun, Haamaan, dan al-Waiid.
  7. Makruh hukumnya memberi nama dengan nama yang menunjukkan kepada dosa dan maksiat, seperti nama Zhaalim (orang lalim) dan Sarraq (pencuri). Dalam sebuah kisah, Utsman bin Abil ‘Ash pernah membatalkan penobatan jabatan gubernur karena kandidatnya seorang yang memiliki nama seperti ini (lihat kitab Al-Ma’rifah wa at-Taariikh karya al-Fasawi (III/201)).Sekelompok ulama ada yang memakruhkan memakai nama para malaikat ‘alaihimusssalam, seperti Jibril, Mikail, Israfil dan lain-lain. Adapun menamakan kaum wanita dengan nama para malaikat sangat jelas keharamannya. Sebab hal itu menyerupai orang-orang musyrikin yang meyakini bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Senada dengan ini memberi nama anak gadis dengan Malaak (malaikat) atau Mulkah. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Bakar Abu Zaid. Sebagian ulama juga memakruhkan memakai nama dengan nama-nama surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an, seperti Thaaha, Yaasiin. Adapun yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Yaasiin dan Thaaha termasuk nama nabi adalah keyakinan yang keliru. Demikian disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.
Nama-nama yang diharamkan dalam syariat adalah nama-nama berikut:
  1. Para ulama sepakat mengenai haramnya memakai nama yang mengandung makna penghambaan diri kepada selain Allah, seperti Abdul ‘Uzza, Abdusy Syams (hamba matahari), Abdud Daar, Abdur Rasuul, Abdun Nabi dan lain-lainDiriwayatkan dari Hani bin Zaid bahwa ketika ia datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan beserta kaumnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar mereka memanggil salah seorang di antara mereka dengan nama Abdul Hajar (hamba batu). Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Abdu hajar.” Beliau bersabda, “Tidak, kamu adalah Abdullah (hamba Allah) bukan Abdu Hajar (hamba batu)!” (lihat kitab Shahihul Adabil Mufraad, halaman 623)Termasuk pula dalam hal ini adalah pemberian nama Abdul Haarits, karena al-Hariits adalah manusia. Adapun “Haarits” itu sendiri bukanlah nama Allah. Yang ada adalah Allah disifati dengan adz-Dzaari’ (menanam, menumbuhkan) dann itu bukan termasuk nama Allah.
    أَفَرَأَيْتُم مَّا تَحْرُثُون أَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ
    Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkan atau Kami-kah yang menumbuhkan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 63-64)
  2. Memberi nama dengan nama-nama Allah, seperti ar-Rahman, ar-Rahiim, al-Khaliq dan al-Bari.Syaikh Utsaimin memiliki penjelasan yang bagus berkenaan memberi nama dengan nama Allah Ta’ala. Pemberian nama ini memiliki dua sisi:Sisi pertama, terbagi menjadi dua macam:
    1. Penyebutan nama dengan huruf alif dan lam. Yang dimikian tidak boleh diberikan kepada selain Allah, seperti al-’Aziz, as-Sayyid, al-Hakiim dan lain-lain Alasannya karena dengan adanya penambahan alif dan lam berarti menunjukkan kepada ushul dari makna yang terkandung dalam nama tersebut.
    2. Maksud pemberian nama untuk menunjukkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut walau tanpa alif dan lam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti kunyah Abu Hakam karena teman-temannya selalu minta putusan hukum kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Allah adalah al-Hakam dan hanya Dia-lah yang berhak menetapkan hukum.” Lalu beliau memberi kunyah dengan nama anak sulungnya yang bernama Syuraih. Ini menunjukkan apabila seseorang memiliki nama dengan salah satu dari nama Allah yang mengandung makna sifat (sengaja disesuaikan dengan sifat, pekerjaan atau keadaan penyandang nama), maka hal itu dilarang syariat.
    Sisi kedua:
    Menamai dengan nama-nama Allah tanpa didahului alif dan lam dan tidak bermaksud menyesuaikan dengan makna sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Hal ini dibolehkan seperti nama Hakiim. Di antara sahabat ada yang bernama Hakiim bin Hizam. Seorang sahabat yang pernah dinasehati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu.”
    Tetapi ada nama Allah lainnya yang tidak pantas dijadikan sebagai nama manusia, seperti Jabbar, meskipun tidak bermaksud menetapkan makna sifat yang terkandung dalam nama tersebut. Karena bisa jadi nama itu mempengaruhi diri orangnya sehingga dirinya menjadi orang yang sombong, angkuh dan takabbur terhadap orang lain. (Al-Majmu’ Ats-Tsamiin (I/144))
  3. Memberi nama dengan nama Malikul Muluk (Rajanya Raja), Sulthanus Salathin dan Syahin Syah.
    أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللهِ يَومَ الْقِيَامَتِ وَ أَخْبَثُهُ وَ أَغْيَظُهُ عَلَيْهِ رَجُلٌ كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ لاَ مَلِكَ إِلاَّ اللَّهِ
    Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia yang paling dimurkai Allah nanti pada hari kiamat yang paling keji dan yang paling dibenci-Nya adalah laki-laki yang bernama Malikul Amlak. Sesungguhnya tiada raja yang haq selain Allah subhanahu wa ta’ala.”
    Semakna dengan nama di atas adalah Qadhi Qudhaat, Haakimul Hukkam (artinya, hakim dari para hakim).
  4. Memberi nama dengan Sayyidun Naas, Sayyidul Kul, Sittul Kul sebagaimana diharamkan memberi nama dengan nama Sayyidu waladi Adam untuk selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  5. Memberi nama dengan nama berhala yang disembah seperti Isaaf dan Naailah.
  6. Memberi nama dengan nama orang-orang non arab yang menjadi ciri khas orang kafir, seperti George, Diana, Ros, Suzan dan lain-lain.
  7. Memberi nama dengan nama-nama setan, seperti Khinzab, Walhaan, A’war, Ajda’. Demikian disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.Syaikh Bakr Abu Zaid juga mengharamkan nama-nama orang non arab, seperti Turki, Farsi, Barbar dan nama-nama lain yang sulit diucapkan oleh lisan arab, seperti Naariman, Syiirihan, Niifiin, Syiiriin, Syaadi (monyet) dan lain-lain. Namun menurut penulis, nama-nama itu hukumnya makruh kecuali jika berkeyakinan bahwa nama tersebut lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin. Wallahu a’lam.


***
Artikel muslimah.or.id
disusun ulang oleh tim muslimah.or.id dari Buku Ensiklopedia Anak Tanya Jawab Tentang Anak Dari A sampai Z karya Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih