Jumat, 27 November 2009

Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha

Oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

 

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti
jalan mereka hingga akhir zaman.

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat 'ied, baik shalat 'Idul
Fithri atau pun 'Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan
ulama. Semoga bermanfaat.
Hukum Shalat 'Ied
Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat 'ied adalah wajib bagi
setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan
mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu 'Athiyah, beliau
berkata,
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ
فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ
أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada
saat shalat 'ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan
para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu
pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita
yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat."[2]

Di antara alasan wajibnya shalat 'ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan
Khon (murid Asy Syaukani).[3]


Pertama: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.


Kedua: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin
untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat 'ied. Perintah untuk keluar
rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat 'ied itu sendiri
bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena
keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya
saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.


Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur'an yang menunjukkan wajibnya shalat
'ied yaitu firman Allah Ta'ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

"Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr)." (QS. Al Kautsar: 2).
Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat 'ied.


Keempat: Shalat jum'at menjadi gugur bagi orang yang telah
melaksanakan shalat 'ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari
'ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang
wajib pula. Jika shalat jum'at itu wajib, demikian halnya dengan
shalat 'ied. –Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami
sarikan-.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Pendapat yang
menyatakan bahwa hukum shalat 'ied adalah wajib bagi setiap muslim
lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu
kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang
mengatakan bahwa hukum shalat 'ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan
wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini.
Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, 'Umar,
'Utsman, dan 'Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka
terus menerus melakukan shalat 'ied. Dan tidak dikenal sama sekali
kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat 'ied.
Shalat 'ied adalah salah satu syi'ar Islam yang terbesar. … Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita
untuk meninggalkan shalat 'ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum
pria?"[4]


Waktu Pelaksanaan Shalat 'Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-,
waktu shalat 'ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai
waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa
mengakhirkan shalat 'Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat
'Idul Adha. Ibnu 'Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali
hingga matahari meninggi."[7]

Tujuan mengapa shalat 'Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar
orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat 'Idul
Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan
untuk menunaikan zakat fithri.[8]


Tempat Pelaksanaan Shalat 'Ied

Tempat pelaksanaan shalat 'ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di
tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa'id Al
Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ
وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى

"Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya
'Idul Fithri dan 'Idul Adha menuju tanah lapang."[9]

An Nawawi mengatakan, "Hadits Abu Sa'id Al Khudri di atas adalah dalil
bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat 'ied sebaiknya dilakukan di
tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya
di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai
negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat 'ied
mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram."[10]


Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat 'Ied


Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim
mengatakan, "Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu
'Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa mandi pada hari 'ied sebelum berangkat shalat."[11]


Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim
mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar ketika
shalat 'Idul Fithri dan 'Idul Adha dengan pakaiannya yang
terbaik."[12]


Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat 'ied khusus untuk shalat
'Idul Fithri.

Dari 'Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ
الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى
يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berangkat shalat 'ied
pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada
hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang
dari shalat 'ied baru beliau menyantap hasil qurbannya."[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah
agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan
untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu
adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah
shalat 'ied.[14]


Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat 'ied. Dalam suatu
riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ
فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ
فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada
hari raya 'Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan
sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan,
beliau berhenti dari bertakbir."[15]

Dari Ibnu 'Umar, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah berangkat shalat 'ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al
Fadhl bin 'Abbas, 'Abdullah bin'Abbas, 'Ali, Ja'far, Al Hasan, Al
Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman,
mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir
(Allahu Akbar)."[16]


Tata cara takbir ketika berangkat shalat 'ied ke lapangan:

[1] Disyari'atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan
(mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama
madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ
أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

"Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu
akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha
Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)" Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak
sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu'
yaitu sampai pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.[18]

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan
"Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar", itu juga
diperbolehkan.[19]


Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat 'ied.
Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu 'Athiyah yang pernah
kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika
keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai
harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu 'Abbas –yang ketika itu
masih kecil- pernah ditanya, "Apakah engkau pernah menghadiri shalat
'ied bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?" Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ

"Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang
termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan
menghadirinya."[20]


Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir,
beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ
خَالَفَ الطَّرِيقَ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat 'ied, beliau lewat
jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang."[21]


Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak
memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu 'Umar, beliau
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ
مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berangkat shalat 'ied
dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan
kaki."[22]


Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah 'Ied dan Ba'diyah 'Ied

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ
فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul
Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat 'ied dua
raka'at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun
ba'diyah 'ied."[23]


Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat 'Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ
غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.

"Aku pernah melaksanakan shalat 'ied (Idul Fithri dan Idul Adha)
bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bukan hanya sekali
atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah."[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, "Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat 'ied tanpa ada
adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama'ah tidak ada
ucapan "Ash Sholaatul Jaam'iah." Yang termasuk ajaran Nabi adalah
tidak melakukan hal-hal semacam tadi."[25]


Tata Cara Shalat 'Ied

Jumlah raka'at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka'at.
Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]


Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.


Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh
kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al
Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut
sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu 'Umar. Ibnul Qayyim mengatakan,
"Ibnu 'Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir."[27]


Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak
ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas'ud,
ia mengatakan, "Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji
Allah."[28] Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara
tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

"Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar.
Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya,
tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah,
ampunilah aku dan rahmatilah aku)." Namun ingat sekali lagi, bacaannya
tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan
lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta'ala.


Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat
lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah surat Qaaf pada raka'at pertama dan surat Al Qomar pada raka'at
kedua. Ada riwayat bahwa 'Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada
Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat 'Idul Adha dan 'Idul
Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ
السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca "Qaaf, wal qur'anil
majiid" (surat Qaaf) dan "Iqtarobatis saa'atu wan syaqqol qomar"
(surat Al Qomar)."[29]

Boleh juga membaca surat Al A'laa pada raka'at pertama dan surat Al
Ghosiyah pada raka'at kedua. Dan jika hari 'ied jatuh pada hari
Jum'at, dianjurkan pula membaca surat Al A'laa pada raka'at pertama
dan surat Al Ghosiyah pada raka'at kedua, pada shalat 'ied maupun
shalat Jum'at. Dari An Nu'man bin Basyir, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ
وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ
أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ
وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى
الصَّلاَتَيْنِ.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat
'ied maupun shalat Jum'at "Sabbihisma robbikal a'la" (surat Al A'laa)
dan "Hal ataka haditsul ghosiyah" (surat Al Ghosiyah)." An Nu'man bin
Basyir mengatakan begitu pula ketika hari 'ied bertepatan dengan hari
Jum'at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing
shalat.[30]


Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat
seperti biasa (ruku, i'tidal, sujud, dst).


Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka'at kedua.


Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima
kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca
Al Fatihah.


Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya
sebagaimana yang telah disebutkan di atas.


Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.


Khutbah Setelah Shalat 'Ied

Dari Ibnu 'Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ –
رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula 'Umar
biasa melaksanakan shalat 'ied sebelum khutbah."[31]

Setelah melaksanakan shalat 'ied, imam berdiri untuk melaksanakan
khutbah 'ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah
Jum'at).[32] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan khutbah
di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah
dengan "hamdalah" (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah
beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, "Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun
yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuka
khutbah 'iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering
mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini
tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah 'iednya dengan
bacaan takbir."[34]

Jama'ah boleh memilih mengikuti khutbah 'ied ataukah tidak. Dari
'Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat
'ied bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tatkala beliau
selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ


"Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk
mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi,
silakan ia pergi."[35]


Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Adapun tentang ucapan
selamat (tah-niah) ketika hari 'ied seperti sebagian orang mengatakan
pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat 'ied, "Taqobbalallahu
minna wa minkum wa ahaalallahu 'alaika" dan semacamnya, maka seperti
ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa
mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam
melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi,
Imam Ahmad mengatakan, "Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat
hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat
padaku, aku akan membalasnya". Imam Ahmad melakukan semacam ini karena
menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya
bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau
yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin
mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa
yang
meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh)."


Bila Hari 'Ied Jatuh pada Hari Jum'at

Bila hari 'ied jatuh pada hari Jum'at, maka bagi orang yang telah
melaksanakan shalat 'ied
(http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/panduan-shalat-idul-fithri-dan-idul-adha.html),
ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum'at atau tidak. Namun imam
masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum'at agar
orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum'at bisa hadir,
begitu pula orang yang tidak shalat 'ied bisa turut hadir. Pendapat
ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat
riwayat dari 'Umar, 'Utsman, 'Ali, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas dan Ibnu Az
Zubair.

Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata,
"Aku pernah menemani Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada
Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ
اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى
الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

"Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bertemu dengan dua 'ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha
bertemu dengan hari Jum'at) dalam satu hari?" "Iya", jawab Zaid.
Kemudian Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang beliau lakukan ketika
itu?" "Beliau melaksanakan shalat 'ied dan memberi keringanan untuk
meninggalkan shalat Jum'at", jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, "Siapa yang mau shalat Jum'at, maka silakan
melaksanakannya."[36]

Kedua: Dari 'Atho', ia berkata, "Ibnu Az Zubair ketika hari 'ied yang
jatuh pada hari Jum'at pernah shalat 'ied bersama kami di awal siang.
Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum'at Ibnu Az Zubair tidak keluar,
beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu 'Abbas berada di
Thoif. Ketika Ibnu 'Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az
Zubair pada Ibnu 'Abbas. Ibnu 'Abbas pun mengatakan, "Ia adalah orang
yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah]."[37] Jika
sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti
statusnya marfu' yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa 'Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu 'Umar tidak
menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula 'Ali bin Abi Tholib
pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat 'ied maka
ia boleh tidak menunaikan shalat Jum'at. Dan tidak diketahui ada
pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]


Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum'at supaya
orang yang ingin menghadiri shalat Jum'at atau yang tidak shalat 'ied
bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu'man bin
Basyir, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa
membaca dalam shalat 'ied dan shalat Jum'at "sabbihisma robbikal a'la"
dan "hal ataka haditsul ghosiyah"." An Nu'man bin Basyir mengatakan
begitu pula ketika hari 'ied bertepatan dengan hari Jum'at, beliau
membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam
dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum'at yang
bertepatan dengan hari 'ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at
dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum'at dan telah menghadiri
shalat 'ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk
mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka'at) sebagai ganti karena tidak
menghadiri shalat Jum'at.[41]
Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul
Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal
sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Bughyatul Mutathowwi' fii Sholatit Tathowwu', Muhammad bin
'Umar bin Salim Bazmoul, hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan
pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim no. 890, dari Muhammad, dari Ummu 'Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah,
1/202, Darul 'Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul
Wafa', cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit
sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin dalam
Syarh Hadits Al Arba'in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika
beliau membahas hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma'ad fii Hadyi Khoiril 'Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq:
Syu'aib Al Arnauth dan 'Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal. 201,
Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi' Al Islam.
[11] Zaadul Ma'ad fii Hadyi Khoiril 'Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma'ad fii Hadyi Khoiril 'Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al
Irwa' (3/123)
[17] Lihat Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220,
Darul Wafa', cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma'ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh 'Ali Hasan 'Ali
'Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat
Ahkamul 'Idain, Syaikh 'Ali Hasan 'Ali 'Abdul Hamid, hal. 21, Al
Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma'ad, 1/425.
Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat 'ied
adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As
Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid
(riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu' (4/492) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). 'Abdul Haq Asy
Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits
ini shahih. 'Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al
Albani dalam Al Ajwibah An Nafi'ah (49) mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At
Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts 'Ilmiyah wal Ifta',
8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi' Al Ifta.


Add a comment to this post:
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/11/25/panduan-shalat-idul-fithri-dan-idul-adha#respond

--
WordPress.com | Thanks for flying with WordPress!

Manage your subscriptions opening this link:
http://subscribe.wordpress.com?key=4e470862b446bab5b61825b5a5ff46c0&email=abuhanifahalim%40gmail.com

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih