Tak Ada Gading yang Tak Retak Kata pepatah tak ada gading yang tak retak, tidak ada satupun yang sempurna. Tentunya kecuali Allah yang maha sempurna. Memang demikianlah setiap orang mesti pernah berbuat salah tanpa kecuali baik orang biasa atau para nabi sekalipun. Hal ini dijelaskan Rasululloh : كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ Setiap bani adam melakukan kesalahan dan sebaik-baiknya yang salah adalah yang bertaubat.[1] Sampai-sampai Rasululloh bersabda: لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Seandainya seluruh hamba tidak berbuat dosa (sama sekali), tentulah Allah menciptakan makhluk lain yang berbuat dosa kemudian Allah mengampuni mereka dan Ia maha pengampun lagi maha penyayang.[2] Oleh karena itu kita perlu solusi tepat untuk selamat. SolusinyaSolusinya hanya satu yaitu dengan bertaubat yang sungguh-sungguh dan memenuhi syaratnya. Sebab taubat menjadi salah satu sebab pengampunan AllahSyarat taubatPara ulama menjelaskan syarat- syarat taubat yaitu:1. Islam, tidak sah taubat dari dosa dan kemaksiatan kecuali dari seorang muslim, sebab taubatnya orang kafir adalah masuk islam. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya: وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. 4:18) 2. Ikhlas. Tidak sah taubat seseorang kecuali dengan ikhlas dengan cara menujukan taubatnya tersebut semata mengharap wajah Allah, ampunan dan penghapusan dosanya. Rasululloh bersabda: إٍِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إلاَّ مَا كَانَ خَالِصًا وَ ابْتَغَي بِهِ وَجْهَ اللهِ Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan kecuali dengan ikhlas dan mengharap wajahNya.[3] Sehingga seorang yang bertaubat atau meninggalkan perbuatan dosa karena bakhil atas hartanya atau takut dicela orang atau tidak mampu melakukannya tidak dikatakan bertaubat secara syar'I menurut kesepakatan para ulama. Oleh karena itu kata taubat dalam Al Qur'an mendapat tambahan kata 'kepada Allah', seperti firman Allah: إِن تَتُوبَآ إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); (QS. 66:4) 3. Mengakui dosanya. Tidak sah taubat kecuali setelah mengetahui, mengakui dan memohon keselamatan dari akibat jelek dosa yang ia lakukan, sebagaimana disampaikan Rasululloh kepada A'isyah dalam kisah Ifku: َ أَمَّا بَعْدُ يَا عَائِشَةُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنِي عَنْكِ كَذَا وَكَذَا فَإِنْ كُنْتِ بَرِيئَةً فَسَيُبَرِّئُكِ اللَّهُ وَإِنْ كُنْتِ أَلْمَمْتِ بِذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرِي اللَّهَ وَتُوبِي إِلَيْهِ فَإِنَّ الْعَبْدَ إِذَا اعْتَرَفَ بِذَنْبِهِ ثُمَّ تَابَ إِلَى اللَّهِ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ Amma ba'du, wahai A'isyah sungguh telah sampai kepadaku berita tentangmu bagini dan begitu. Apabila kamu berlepas (dari berita tersebut) maka Allah akan membersihkanmu dan jika kamu berbuat dosa tersebut, maka beristighfarlah kepada Allah dan bertaubatlah kepadaNya. Karena seorang hamba bila mengakui dosanya kemudian bertaubat kepada Allah niscaya Allah akan menerima taubatnya. (HR Al Bukhori). 4. Menyesali perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Penyesalan memberikan tekad, kemauan dan pengetahuan kepada pelakunya bahwa kemaksiatan yang dilakukannya tersebut akan menjadi penghalang dari Rabbnya, lalu ia bersegera mencari keselamatan dan tidak ada jalan keselamatan dari adzab Allah kecuali berlindung kepadaNya, sehingga muncullah taubat dalam dirinya. Oleh karena itu tidak terwujud taubat kecuali dari penyesalan, sebab tidak menyesali perbuatannya adalah dalil keridhoan terhadap kemaksiatan tersebut, seperti disabdakan Rasululloh: النَّدَمُ تَوْبَةٌ Penyesalam adalah taubat.[4] 5. Berlepas dan meninggalkan perbuatan dosa tersebut apabila kemaksiatannya adalah pelanggaran larangan Allah dan bila kemaksiatannya berupa meninggalkan kewajiban maka cara meninggalkan perbuatan dosanya adalah dengan melaksanakannya. Ini termasuk syarat terpenting taubat. Dalilnya adalah firman Allah: وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui. (QS. 3:135) Al Fudhail bin Iyaadh menyatakan: Istighfar tanpa meninggalkan kemaksiatan adalah taubat para pendusta.[5] 6. Berazam dan bertekad tidak akan mengulanginya dimasa yang akan datang. 7. Taubat dilakukan pada masa diterimanya taubat. Apa bila bertaubat pada masa ditolaknya seluruh taubat manusia, maka tidak berguna taubatnya. Masa tertolaknya taubat ini di tinjau dari dua sisi: a. Dari pelaku itu sendiri, maka waktu taubatnya sebelum kematian. Apabila bertaubat setelah sakaratul maut, maka taubatnya tidak diterima. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmanNya : وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (QS. 4:18) Hal inipun disampaikan Rasululloh dalam sabdanya: إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ Sesungguhnya Allah menerima taubat hambaNya selama belum sakaratul maut.[6] Oleh karena itu Allah tidak menerima taubat Fir'aun ketika tenggelam, seperti dikisahkan dalam firmanNya: وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْيًا وَعَدْوًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً ۚ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia:”Saya percaya bahwa tidak ada Ilah melainkan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (QS. 10:90-92) b. Dari manusia secara umum. Rasululloh menyatakan : الْهِجْرَةُ لاَ تَنْقَطِعُ حَتَّى تَنْقَطِعَ الْتَوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ الْتَوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَاhijroh tidak terputus sampai terputusnya taubah dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat.[7] Dan sabda beliau : إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا."Sesungguhnya Allah Ta'ala selalu membuka tangan-Nya di waktu malam untuk mene-rima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat." [8] Apabila matahari telah terbit dari barat maka taubat seorang hamba tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam firmanNya : هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabbmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfa’at lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah:”Tunggulah olehmu sesungguhnya kamipun menunggu(pula)”. (QS. 6:158) 8. Khusus yang berhubungan dengan orang lain maka ada tambahan berlepas dari hak saudaranya, apabila itu berupa harta atau sejenisnya, maka mengembalikannya kepadanya dan bila berupa hukuman menuduh (zina) maka memudahkan hukuman atau memohon maaf darinya dan bila nerupa ghibah, maka memohon dihalalkan dari ghibah tersebut. Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: Adapun bila dosa tersebut antara kamu dengan manusia, apabila berupa harta, harus menunaikannya kepada pemiliknya dan tidak diterima taubtanya kecuali dengan menunaikannya. Contohnya kamu mencuru harta dari seseorang lalu kamu bertaubat dari hal itu, maka kamu harus menyerahkan hasil curian tersebut kepada pemiliknya. Juga contoh lain, kamu mangkir dari hak seseorang, seperti kamu punya tanggungan hutang lalu mangkir darinya, kemudian kamu bertaubat, maka kamu harus pergi kepada orang yang bersangkutan dan memeberikan pengakuan dihadapannya sehingga ia mengambil haknya. Apabila orang tersebut telah meninggal dunia, maka kamu berikan kepada ahli warisnya. Apabila tidak tahu atau ia menghilang darimu dan kamu tidak mengetahui keberadaannya maka bersedekahlah dengan harta tersebut atas namanya agar bebas dari (kewajiban) tersebut dan Allahlah yang mengetahui dan menyampaikannya kepadanya. Apabila kemaksiatan yang kamu lakukan terhadap orang lain berupa pemukulan atau sejenisnya, maka datangilah ia dan mudahkanlah ia untuk membalas memukul kamu seperti kamu memukulnya. Apa bila yang dipukul punggung maka punggung yang dipukul dan bila kepala atau bagian tubuh lainnya maka hendaklah ia membalasnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, (QS. 42:40) Dan firmanNya: الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.(QS. 2:194) Apabila berupa perkataan (menyakitinya dengan perkataan), seperti kamu mencela, menjelek-jelekinya dan mencacinya dihadapan orang banyak, maka kamu harus mendatanginya dan meminta maaf darinya dengan apa saja yang telah kamu berdua sepakati, sampai-sampai seandainya ia tidak memaafkan kamu kecuali dengan sejumlah uang maka berilah. Sedang yang keempat adalah apabila hak orang lain tersebut berupa ghibah, yaitu kamu pernah membicarakannya tanpa sepengetahuan nya dan kamu menjelek-jelekkannya dihadapan orang banyak ketika ia tidak ada. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan ia harus mendatanginya dengan menyatakan: Wahai fulan saya pernah merumpis (menggibahi) kamu dihadapan orang maka saya mohon kamu memaafkan saya dan menghalalkannya. Sebagian ulama menyatakan: Tidak menemuinya namun harus diperinci permasalahannya. Apabila orang tersebut telah mengetahui perbuatan ghibah tersebut, maka harus menemuinya dan minta dimaafkan. Namun bila tidak mengetahuinya maka jangan berangkat menemuinya namun cukup memintkan ampunan untuknya dan menyampaikan kebaikan-kebaikannya dimajlis-majlis yang kamu pernah gunakan dalam menggibahinya, karena kebaikan-kebaikan menghapus kejelekan. Inilah pendapat yang rojih.[9] Sedangkan syeikh Saalim bin Ied Al Hilali memberikan syarat bila tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar lagi. Beliau berkata: Apabila dosa itu berupa ghibah maka ia meminta dihalalkan (dimaafkan) selama tidak mebnimbulkan mafsadat lain akibat dari permintaan maaf itu sendiri. Apabila menimbulkan maka yang wajib baginya adalah mencukupkan dengan mendoakan kebaikan untuknya.[10] Mudah-mudahan bermanfaat. Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel www.Ustadzkholid.com [1] (HR Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Hadits ini dihasankan Al Albani dalam Shohih Al Jaami' Al Shoghier no. 4391). [2] (HR Al Haakim dan dishohihkan Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Al Shohihah no. 917) [3] (HR Al Nasaa'I dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al jaami' no. 1856) [4] (HR Ibnu Majah dan Ahmad dan dishohihkan Al Albani dalam Shohih Al Jaami' Al Shoghir no. 6678). [5] Fathul Bari 11/99 [6] (HR Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Al Jaami' Al Shoghir no.1899). [7] diriwayatkan AbuDaud no. 2479 dan Ahmad dalam Musnad (3/99) dan dishohihkan dalam Shohih Al Jami' no. 7469. [8] HR. Muslim (no. 2759). [9] Syarhu Riyadh Al Sholihin 1/77 [10] Al taubat Al Nashuh hal 30. |
Kamis, 24 Maret 2011
Kategori:
akhlak dan nasehat,
amal,
muhasabah,
taubat,
tazkiyatun nufus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih