Mungkinkah Kepemimpinan Yang Adil dapat Terwujud..?
Jawabannya adalah sangat mungkin sekali..
bagaimana cara mewujudkannya..?
berikut ini sebuah solusi yang mudah-mudahan bermanfa'at bagi yang berkenan membacanya..
Cara tepat mewujudkan Kepemimpinan yang Adil
Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Tercermin dalam surat an-Nahl/16 ayat 89, Allah Ta'ala berfirman: وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitâb (Al-Qur`ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" [an-Nahl/16:89]
Bahkan, Islam telah mengatur dan menjelaskan tata cara buang air. Demikian pula, Islam telah mengatur dan menjelaskan masalah perpolitikan. Islam memberikan konsep yang jelas untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan benar. Dan berikut, tulisan ini akan membahas secara ringkas, bagaimana mewujudkan kepemimpinan tersebut.
Sebagaimana fenomena yang nampak di masyarakat kita, terdapat dua kubu di tengah kaum muslimin yang berjuang dan menghabiskan waktunya untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil. Kubu yang pertama, terdiri dari orang-orang yang menghalalkan politik non Islami, atau paling tidak berkecimpung di dalamnya. Kubu yang kedua, terdiri dari orang-orang yang menghalalkan darah para penguasa (pemerintahan), atau paling tidak berusaha menggulingkannya.
Manakah di antara kedua kubu ini yang sesuai dengan syariat? Jika kedua kubu itu tidak sesuai dengan syariat, lantas bagaimana sikap kita?
Kilas Balik Sejarah
Sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kita menengok ke masa lalu. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai berdakwah hingga akhirnya tercipta sebuah daulah, yaitu Daulah Islamiyah, karena beliau adalah suri teladan kita.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus di tengah-tengah kaum yang sangat buruk agama, masyarakat dan perpolitikannya. Meski keberadaannya di tengah kaum yang sedemikian parah, ternyata, ketika berada di Makkah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berusaha untuk melakukan pemberontakan, merebut kekuasaan, ataupun menggunakan cara-cara licik untuk menggulingkan atau membunuh pemimpin-pemimpin kaum musyrikin Makkah. Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menggunakan cara tersebut? Jawabannya, karena cara tersebut bukan cara yang tepat.
Bahkan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berdakwah secara terang-terangan dan banyak manusia yang mulai masuk Islam, maka kaum Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah untuk membujuknya.
'Utbah bin Rabi'ah berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ شَرَفًا سَوَّدْنَاكَ عَلَيْنَا حَتَّى لاَنَقْطَعَ أَمْرًا دُوْنَكَ وَإِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ مُلْكًا مَلَّكْنَاكَ عَلَيْنَا
"Jika engkau menginginkan kedudukan, maka kami akan menjadikanmu sebagai tuan kami, sehingga kami tidak akan memutuskan suatu perkara tanpamu. Jika engkau menginginkan kerajaan, maka kami akan menjadikanmu sebagai raja kami" [1].
Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima tawaran itu? Jawabannya, adalah tidak! Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerimanya? Padahal dengan demikian, sepertinya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa berdakwah dengan menggunakan kekuasaannya. Jawabannya, karena cara tersebut bukanlah cara yang tepat.
Sebagai buktinya adalah Raja Najasyi rahimahullah yang telah masuk Islam; kendati sudah berada di tampuk kepemimpinan, tetap saja kekuasaannya tidak bisa dipergunakan untuk merubah masyarakatnya.
Beda halnya ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Madinah, pada saat itu, kaum muslimin cukup banyak dan memiliki kekuatan iman, sehingga dengan mudahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatur mereka dan membentuk sebuah Daulah Islamiyah, yaitu daulah yang sangat kita dambakan untuk sekarang ini.
Keshalihan Pemerintah tergantung kepada Keadilan dan keshalehan Masyarakatnya
Ketahuilah, keadilan dan keshâlihan pemerintah tergantung kepada keadilan dan keshâlihan masyarakatnya. Dalam hal ini berlaku hukum sebanding. Jika masyarakat tidak adil dan tidak shâlih, bagaimana mungkin mereka mengharapkan pemerintah yang adil dan shâlih? Cobalah kita renungi ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta'ala berfirman, yang artinya:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa-apa yang mereka usahakan". [al-An'âm/6:129].
Allah Ta'ala berfirman,
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
yang artinya: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kefasikan dalam negeri itu, maka sepantasnya berlaku terhadap perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya". [al-Isrâ`/17:16].
Ayat ini sangat jelas menerangkan, kefasikan masyarakat suatu negeri bisa membinasakan negeri tersebut.
Allah Ta'ala berfirman,
وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِمْ مَوْعِدًا
yang artinya: "Dan (penduduk) negeri itu telah kami binasakan ketika mereka berbuat kezhaliman". [al-Kahfi/18:59].
Begitu pula disebutkan dalam hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى نَتْرُكُ الأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْىَ عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ « إِذَا ظَهَرَ فِيكُمْ مَا ظَهَرَ فِى الأُمَمِ قَبْلَكُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا ظَهَرَ فِى الأُمَمِ قَبْلَنَا قَالَ « الْمُلْكُ فِى صِغَارِكُمْ وَالْفَاحِشَةُ فِى كِبَارِكُمْ وَالْعِلْمُ فِى رُذَالَتِكُمْ ».
"Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah pernah ditanya, 'Ya, Rasulullah! Kapankah amar ma'ruf dan nahi mungkar akan kami tinggalkan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Jika tampak di tengah-tengah kalian, apa-apa yang tampak di tengah-tengah umat-umat sebelum kalian,' Kami pun bertanya: 'Ya Rasulullah! Apa yang tampak di tengah-tengah umat sebelum kami?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, '(Ketika) kerajaan/kekuasaan berada di tangan anak-anak muda [2] di antara kalian, perbuatan-perbuatan fâhisy (dosa besar) dilakukan oleh orang-orang yang tua[3] di antara kalian, dan ilmu disebarkan oleh orang yang hina[4] di antara kalian" [5]
Hadits ini menjelaskan keterkaitan antara perbuatan dosa dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Ketika amar ma'ruf nahi mungkar sudah ditinggalkan, maka ini menjadi tanda kebinasaan suatu kaum.
Al-Walîd ath-Tharthûsi rahimahullah berkata: "Sampai sekarang masih terdengar orang-orang berkata, 'amalan-amalan kalian adalah pekerja-pekerja kalian', sebagaimana kalian sekarang ini; maka seperti itulah kalian akan dipimpin. Di dalam Al-Qur`ân terdapat ayat yang semakna dengan ini (Qs al-An'âm/6 ayat 129, seperti telah disebutkan di atas)'."
'Abdul-Mâlik bin Marwân berkata,"Wahai, rakyatku! Bersikap adillah kepada kami! (Bagaimana mungkin) kalian menginginkan dari diri-diri kami seperti yang dijalankan oleh Abu Bakar dan 'Umar, sedangkan kalian tidak mengerjakan seperti apa-apa yang mereka amalkan?!"[6]
Setelah kita mengetahui, bahwa keshalihan dan keadilan pemerintah tergantung pada keshalihan dan keadilan masyarakatnya, maka tidak ada jalan lain untuk mewujudkannya kecuali dengan melakukan perubahan terhadap masyarakatnya.
Berita dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Tentang Ummat di masa datang dan cara Mengatasinya
Keadaan masyarakat seperti yang ada sekarang ini sudah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, begitu pula cara penyelesaiannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ »
"Jika kalian berjual beli dengan cara 'înah [7] dan mengambil ekor-ekor unta serta kalian telah ridho dengan pertanian[8] dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan. Allah tidak akan menghilangkannya sampai kalian kembali kepada agama kalian"[9].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
«فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلَكِنِّى أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ »
"Demi Allah! Bukanlah kemiskinan yang aku takutkan dari diri kalian. Akan tetapi, aku takut jika dunia dilapangkan kepada kalian, sebagaimana dilapangkan kepada umat-umat sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba (untuk mendapatkannya) sebagaimana mereka dulu berlomba-lomba, dan dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana menghancurkan mereka". [10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الأُكَلَةُ عَلَى قَصْعَتِهَا ». قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ قَالَ « أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنْ تَكُونُونَ غُثَاءً كَغُثَاءِ السَّيْلِ يَنْتَزِعُ الْمَهَابَةَ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيَجْعَلُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». قَالَ قُلْنَا وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الْحَيَاةِ وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ »
"Sebentar lagi umat-umat (agama lain) akan menyerbu kalian dari segala penjuru sebagaimana orang-orang yang makan menyerbu piring makannya," kami pun bertanya, "Apakah pada saat itu jumlah kami sedikit?" Beliau berkata, "Jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi, kalian akan menjadi buih-buih seperti buih-buih air. Allah akan mencabut rasa takut atau segan dari hati musuh-musuh kalian, serta menjadikan al-wahn di hati-hati kalian." Kami bertanya, "Apakah al-wahn itu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Cinta kehidupan (dunia) dan takut kepada kematian" [11].
Hadits-hadits di atas menerangkan keadaan kaum muslimin, bahwasanya mereka akan terlena dengan dunia, bodoh dan jauh dengan agama, hatinya tidak pernah terbetik untuk berjihad, sehingga Allah akan menjadikan mereka hina dan binasa, dan menjadikan musuh-musuh tidak takut dengan mereka. Benarlah yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua yang disebutkan itu telah benar-benar terjadi.[12]
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak akan kembali jaya kecuali jika mereka kembali kepada agamanya. Tidak lain, yaitu dengan melakukan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan/pengajaran).[13]
Syaikh 'Abdul-Mâlik Ramdhâni hafizhahullâh menjelaskan, "Tashfiyah, yaitu membersihkan Islam dari ajaran-ajaran lain yang masuk ke dalamnya. Dan tarbiyah, yaitu mendidik atau mengajarkan Islam yang sebenarnya (asli) kepada manusia, yaitu men-tashfiyah tauhid dari syirik, men-tashfiyah sunnah dari bidah, men-tashfiyah fikih dari pendapat-pendapat baru yang lemah, men-tashfiyah akhlak dari perilaku umat-umat yang binasa dan hina, dan men-tashfiyah hadiits-hadiits Nabi yang shahîh dari yang dusta dan palsu".[14]
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, "Wajib untuk diketahui, mengapa kaum muslimin pada saat ini tidak berhukum dengan hukum Islam kecuali di beberapa daerah saja? Mengapa para dai Islam tidak menerapkan Islam pada diri mereka sendiri sebelum menyuruh orang lain untuk memperaktekkan Islam di negara-negara mereka? Jawabannya cuma satu, yaitu, karena mereka tidak mengenal Islam kecuali secara global saja, atau mereka tidak men-tarbiyah diri mereka dan orang lain berdasarkan Islam dalam kehidupan, akhlak, dan muamalah mereka." [15]
Kenyataan Pahit
Nikmat menjadi thalibul-ilmi adalah nikmat yang sangat besar. Akan tetapi, sangat sedikit kaum muslimin yang mengetahuinya. Betapa banyak ayat, hadits dan atsar yang menunjukkan hal itu, sebagaimana tertulis di dalam buku-buku agama. Akan tetapi, amat disayangkan, orang-orang yang sudah diberi hidayah oleh Allah untuk menuntut ilmu yang hak, yang sudah mempelajari akidah yang benar dan agama yang kuat, mereka banyak disibukkan dengan perkara duniawi dan politik non Islami. Akibatnya, mereka yang tadinya berdakwah di masjid-masjid dan rumah-rumah, sekarang justru meninggalkan masjid dan masyarakatnya. Yang tadinya rajin belajar dan membaca buku di perpustakaan, sekarang justru meninggalkan buku dan perpustakaannya. Yang tadinya memakai pakaian yang islami, sekarang justru memakai pakaian Nashrani. Suatu kenyataan yang sangat pahit!
Tidak sedihkah mereka melihat keadaan umat ini? Politisi-politisi sangat gampang "dicetak", teknisi-teknisi sangat mudah "ditelurkan", dokter-dokter sangat "ringan dimunculkan", tetapi untuk mencetak para ustadz, para dai dan ulama tidaklah mudah. Kalau bukan mereka, para penuntut ilmu agama, maka siapa lagi yang akan memperbaiki umat ini. Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
yang artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. ar-Ra'd/13:11).
Dengan demikian, dari uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan, kedua kubu yang telah disebutkan atas, tidaklah berada dalam kebenaran dan tidak sesuai dengan syariat. Dan tidak ada cara yang tepat untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil, kecuali dengan melakukan tashfiyah dan melakukan tarbiyah kaum muslimin.
Syaikh 'Abdul-Mâlik Ramadhâni hafizhahullâh berkata: "Permisalan dua kubu tersebut, seperti dua orang petani yang mendatangi suatu lahan yang menghasilkan buah yang jelek. Yang satunya menanam tanaman (di lahan itu), setiap kali tanaman itu berbuah matang, maka dia potong tanaman itu. Yang satunya lagi menanam tanaman, memperbaiki akar-akarnya dan selalu menyiraminya. Di antara mereka mana yang lebih bagus?"[16]
Jawabannya, tidak ada yang bagus. Orang yang kedua kendati menghasilkan buah, maka buahnya bukanlah buah yang bagus, karena lahan yang dipakai tidaklah cocok untuk bercocok tanam.
Sedikit Nasehat
Oleh karena itu, sebagai pencari kebenaran hakiki, jangan sampai kita mendahulukan 'âthifah (perasaan) setiap menimbang sesuatu. Mengikuti 'âthifah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyak kaum muslimin mengikuti hawa nafsunya, sehingga pada akhirnya tersesat dari jalan yang benar.
Syaikh al-'Utsaimin rahimahullâh mengingatkan, "Jika kita ingin membangkitkan kaum muslimin dari tidur dan kelalaiannya, maka kita harus berjalan sesuai dengan jalan-jalan yang tepat dan dengan asas yang kuat. Karena, kita semua menginginkan agar hukum-hukum (yang ada semua kembali) kepada Allah, dan kita menginginkan agar agama Allah tegak di atas bumi ini. Ini adalah tujuan yang sangat besar. Akan tetapi, kalau hanya dengan 'âthifah (perasaan). maka hal itu tidak akan pernah terwujud. Kita harus mengikat 'âthifah dengan syariat dan akal kita." [17]
Sekian. Mudah-mudahan bermanfaat. Tamma bi fadhlillaah wa taufîqih.
Oleh Said Yai Al-Kumriini
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016] saya coppast dari sini ________
Footnote
[1]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni. Lihat as-Sîrah an-Nabawiyah fî Dhau`il-Mashâdir al-Ashliyah, hlm. 200 (??? Hlm. 178-179-Muslim).
[2]. Maksudnya, dipimpin oleh orang-orang yang tidak berpengalaman.
[3]. Maksudnya, kemaksiatan dilakukan oleh banyak orang sampai-sampai dilakukan pula oleh orang-orang yang tua.
[4]. Maksudnya, ilmu disebarkan oleh orang-orang fasik yang hanya mengharapkan dunia.
[5]. HR Ibnu Mâjah No. 4015. Al-Bûshiri berkata, "Isnadnya shahîh, rijalnya tsiqât." Lihat perkataan al-Bûshirî dan penjelasan hadits ini di Hasyiah as-Sindi, Beirut, Dârul-Ma'rifah, Jilid IV, hlm. 366.
[6]. 'Sirâj al-Mulûk' hal. 100-101. Dinukil dari 'Fiqhussiyâsah asy-Syar'iah fi Dhau`il-Kitâb was-Sunnah wa Aqwâl Salafil-Ummah, hlm. 171.
[7]. Jual beli yang mengandung riba di dalamnya. Hadits ini berlaku umum terhadap semua penyimpangan dalam masalah syariat, seperti penyimpangan dalam akidah, ibadah, muamalah, pernikahan, dll. Dan penyebutan 'inah di sini sebagai perwakilan saja atas penyimpangan-penyimpangan tersebut.
[8]. Maksudnya, cinta dengan dunia dan melalaikan akhirat.
[9]. HR Abu Dâwud, no. 3462, dan yang lainnya. Dan hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni ddalam ash-Shahîhah, no. 11.
[10]. HR al-Bukhâri, no. 3157 dan Muslim no. 2971.
[11]. HR Ahmad di Musnad-nya, Jilid V, hlm. 278, dan yang lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah Jilid II hal 647-648
[12]. Lihat keterangan yang lebih jelas di Badâ`iu al-Hikam bi Dzikri Fawâ`id Hadîts Tadâ'i al-Umam yang ditulis oleh Syaikh Salim al-Hilâli.
[13]. Silahkan baca keterangan yang lebih jelas dalam kitab Ma'âlim al-Manhaj as-Salafy fit-Taghyîr yang disusun oleh Syaikh al-Albâni.
[14]. Dinukil dari kitab Sittu Durar min Ushûli Ahlil-Atsar, hlm. 102.
[15]. Ma'âlim al-Manhaj as-Salafy fit-Taghyîr, hlm. 30.
[16]. Majalah al-Ishlâh, edisi ke-5, tahun 1428 H, hlm. 43 dengan judul Limadza la Yalja' Ahlus-Sunnah fi Ishlâhihim ilal-hilli as-Siyasi wal-Hilli ad-Damawi.
[17]. Kitab beliau yang berjudul ash-Shahwah al-Islamiyah, hlm. 52.
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih