Rabu, 04 November 2009

Kritik Anjuran Adzan di Telinga Bayi

Kritik Anjuran Adzan di Telinga Bayi

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala alihi
wa shohbihi wa sallam.

Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti
dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu
adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan
penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini
sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam
permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan
perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap
muslim adalah Al Qur'an dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang
dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al
Qur'an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka
tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada
pembahasan kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang
baru lahir disyari'atkan (disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau
dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami akan tinjau dalil yang
mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar dalam muqodimah, silaka
n simak pembahasan berikut ini.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi'i dan mereka
tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak
perkataan Imam Asy Syafi'i yang menganjurkan adzan di telinga bayi,
pen).

Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci
perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada
tuntunannya.

Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi'iyah yang
mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu'ah
Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof
Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu'abul
Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada
perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.

Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu
perselisihan yang ada kepada Al Qur'an dan As Sunnah sebagaimana hal
ini diperintahkan dalam firman Allah,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah.
(Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya
lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." (Qs. Asy-Syuura:
10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan,
"Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini
mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada
Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana
perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk)
Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman
Allah Ta'ala pada ayat yang lain,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)." (Qs.
An Nisa' [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu
hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan
kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah
perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:

Dari 'Ubaidillah bin Abi Rofi', dari ayahnya (Abu Rofi'), beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي
أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

"Aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin 'Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin 'Ali, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

"Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan
dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan
membahayakannya." (Diriwayatkan oleh Abu Ya'la dalam musnadnya dan
Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin 'Ali
pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan
iqamat di telinga kiri." (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu'abul
Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk
anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di
atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-Hadits di Atas

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,

مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ
بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ
أَبِيهِ

yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, 'Ashim bin 'Ubaidillah, 'Ubaidullah
bin Abi Rofi', dan Abu Rofi'.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah 'Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai 'Ashim dho'if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi
mengatakan bahwa Ibnu Ma'in mengatakan 'Ashim dho'if (lemah). Al
Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa 'Ashim adalah munkarul hadits
(sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga
secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho'if).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi.
Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau
mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat
yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat
hadits kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,

حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن
عبيد الله ، عن حسين

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al 'Alaa', Marwan bin Salim, Tholhah bin
'Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho'if (lemah).

Yahya bin Al 'Alaa' dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta
dan Adz Dzahabi menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya
ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan),
dituduh lembek dan juga dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho'ifah no. 321 menilai bahwa
Yahya bin Al 'Alaa' dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering
memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat
menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma
sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits
kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho'if
(lemah) menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد
بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ،
عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس

yaitu: Ali bin Ahmad bin 'Abdan, Ahmad bin 'Ubaid Ash Shofar, Muhammad
bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin
Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma'bad, dan Ibnu Abbas.

Al Baihaqi sendiri dalam Syu'abul Iman menilai hadits ini dho'if
(lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama
tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa
Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata
Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz
berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak
ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa
dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu' (palsu) atau
mendekati maudhu'.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang
memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut
tidak bisa mengangkatnya dari dho'if (lemah) menjadi hasan. Maka
pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan
adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai
hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun,
akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan
dalam Silsilah Adh Dho'ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang
membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah
sehingga tidak bisa diamalkan.

Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini
hafizhohullah mengatakan, "Hadits yang menjelaskan adzan di telinga
bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat
tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari
dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya
(menjadi hasan)." (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari
Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam
masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat).
Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan
bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian
hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas
terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan
maudhu' (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak
bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.

Jika ada yang mengatakan, "Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan
amalan ini." Cukup kami sanggah, "Ingatlah saudaraku, di antara
pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba engkau
memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits
berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidaklah tepat perkataan
orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat)
boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka.
Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar."

Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang
yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau ditanya, "Apakah
engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam
masalah ijtihadiyah, pen)?"

Imam Malik lantas menjawab, "Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima
hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari
berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat
yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada
pendapat yang benar melainkan satu saja." (Dinukil dari Shohih Fiqh
Sunnah, 1/64)"

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga
dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui
kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan
semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat
memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Allahumman
fa'ana bimaa 'allamtana, wa 'alimna maa yanfa'una wa zidnaa 'ilmaa. Wa
shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shohbihi wa
sallam.

Keterangan:

Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat
dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat
hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih
kuat, dan tidak ada illah (cacat).
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun
ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
Hadits dho'if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih
seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih
shohih) dan memiliki illah (cacat).
Hadits maudhu' (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai
kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam.
Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu
perowinya dituduh kadzib (berdusta).


***

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Artikel diambil dari Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah
- http://muslim.or.id
Silakan kunjungi alamat lengkap artikel ini:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/kritik-anjuran-adzan-di-telinga-bayi.html

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih