Selasa, 13 September 2011

Bid’ah tidak sama dengan Mashalih Mursalah maupun Istihsan

Bid’ah tidak sama dengan Mashalih Mursalah maupun Istihsan

Banyak kalangan yang tergelincir dalam bid’ah karena rancu dalam memahami masalah ini. Mereka lantas berdalil dengan apa-apa yang tergolong mashalih mursalah untuk membenarkan amalan-amalan bid’ah. Karenanya, kita harus memahami perbedaan antara bid’ah, mashalih mursalah, dan istihsan secara fiqih; supaya jelas mana yang bid’ah dan mana yang bukan bid’ah.
Pertama-tama, kita harus tahu bahwa apa yang namanya ‘mashalih mursalah’ haruslah memperhatikan beberapa hal berikut:
A.    Ia harus sesuai dengan tujuan syari’at (yakni menjaga dien, akal, jiwa, harta, kehormatan, dan keturunan). Maksudnya, ia tidak boleh bertentangan dengan salah satu ajaran pokok syari’at, maupun dalil syar’i.
B.     Menentukan ada tidaknya maslahat -alias menggolongkan sesuatu ke dalam mashalih mursalah atau bukan- hanya bisa dilakukan pada hal-hal yang memang bisa dinilai secara logis. Artinya, bila kita renungkan dengan akal, akal bisa menerimanya.

Dari sini, tidak ada istilah mashalih mursalah dalam hal-hal yang sifatnya ta’abbudiyah (alias murni ibadah) atau yang berlaku seperti ibadah. Alasannya karena makna suatu ibadah tidak bisa difahami secara mendetail oleh akal. Contohnya wudhu’, tayammum, shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Cobalah Anda perhatikan tata cara bersuci yang berbagai macam (wudhu’, tayammum, mandi junub, dll). Masing-masing merupakan ibadah tersendiri dan memiliki cara yang zhahirnya ‘tidak masuk akal’. Kencing dan kotoran (tahi) adalah benda najis yang keluar dari dubur/kemaluan, dan keluarnya kedua benda tadi mengharuskan seseorang untuk membersihkan anggota-anggota wudhu’ (tangan, wajah, kepala dan kaki), selain membersihkan kemaluan/duburnya. Ia diwajibkan membersihkan anggota-anggota wudhu’ tersebut meski semuanya bersih dan tidak terkena kotoran. Namun sebaliknya, ia tidak wajib membersihkan keempat anggota wudhu’ yang kotor atau berdebu, bila ia tidak berhadats (keluar sesuatu dari lubang kemaluan/dubur).
Kemudian, bukankah tanah/debu itu bersifat mengotori? Namun mengapa ia justru menjadi pengganti air yang bersifat membersihkan dalam tayammum?
Demikian pula waktu-waktu shalat yang lima… kita tidak bisa menemukan kaitan yang jelas dan logis, mengapa shalat harus dilakukan di waktu-waktu tersebut dengan jumlah roka’at tertentu?
Begitu pula dalam ibadah puasa dan haji. Banyak hal yang tidak bisa kita mengerti hikmah/maksudnya.
Demikianlah sifat kebanyakan ibadah yang tidak bisa dimengerti maksudnya, meskipun ada juga sejumlah kecil ibadah yang maksudnya jelas dan dapat difahami melalui syari’at. Ini harus kita renungkan.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali radhiyallaahu ‘anhu: “Andaikan agama harus berdasarkan logika, maka bagian bawah khuff[1] lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya”.

Karenanya, Imam Malik berprinsip untuk tidak memperhatikan maksud apa yang tersembunyi di balik ibadah apa pun, meskipun bisa ditangkap dengan jelas. Sikap ini berangkat dari pemahaman beliau tentang keinginan Allah agar hamba-Nya pasrah saja dalam melaksanakan ibadah sebagaimana diperintahkan. Dan ini tidak sama dengan hal-hal yang sifatnya adat/kebiasaan; yang memang berjalan mengikuti makna-makna yang logis dan nyata; dan dalam hal ini, madzhab Imam Malik mengembalikan masalah adat kepada mashalih mursalah dan istihsan.
C.     Mashalih mursalah bertujuan untuk menjaga apa yang dianggap sangat penting. Artinya, ia termasuk hal-hal yang bersifat sarana, yang mutlak diperlukan dalam rangka menunaikan kewajiban. Atau bertujuan menghindari dampak negatif yang pasti terjadi. Alias bersifat ‘meringankan’.

Bila hal ini telah kita fahami, kita akan tahu bahwa bid’ah bertentangan dengan mashalih mursalah. Karena topik dari mashalih mursalah ialah apa-apa yang bisa difahami maksudnya secara rinci. Seperti hal-hal yang bersifat kebiasaan/adat, yang memang menjadi medan penerapan-nya. Adapun hal-hal yang sifatnya ibadah, maka hukumnya tidak sama dengan adat. Akal memang bisa memahami ibadah secara umum, namun tidak bisa memahaminya sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah[2]. Karenanya, tidak boleh membikin ibadah baru yang tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Amalan manusia terbagi menjadi dua: Ibadah yang diyakini sebagai bagian dari agama dan bermanfaat bagi akhirat, atau bagi dunia dan akhirat. Dan adat (kebiasaan) yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Hukum asal dalam ibadah adalah tidak disyari’atkan, kecuali bila Allah mensyari’atkannya. Sedangkan hukum asal dalam adat adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah”.

Kita tegaskan kembali, bahwa mashalih mursalah tujuannya ialah demi menjaga hal-hal yang sifatnya darurat, alias sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai tujuan. Atau sebagai peringan dampak negatif yang pasti terjadi, bukan justru memberatkan.

Karenanya, tidak mungkin ada bid’ah muncul dari arah mashalih mursalah, mengingat bid’ah tadi dianggap sebagai ibadah, alias bukan sekedar wasilah (sarana). Bid’ah merupakan tujuan dari pelakunya, dan bid’ah justru membebani. Ini jelas bertentangan dengan prinsip mashalih mursalah, sehingga pelaku bid’ah pada dasarnya tidak membutuhkan mashalih mursalah tersebut.

Dari semua paparan tadi, kita jadi tahu bahwa Allah sengaja tidak menyerahkan masalah ibadah kepada pendapat hamba-Nya. Sehingga yang tersisa hanyalah mengikuti aturan yang sudah baku dalam ibadah. Setiap tambahan yang diberikan kepada ibadah berarti bid’ah, sebagaimana menguranginya juga bid’ah.

Kedua: Masalah istihsan (menganggap baik) juga menjadi syubhat bagi orang yg hendak membikin bid’ah. Ia mungkin berkata: “Kalaulah aku menganggap hal ini dan itu sebagai kebaikan, toh si Fulan yang tergolong ulama juga menganggapnya baik”

Berangkat dari sini, harus dijelaskan apakah pengertian istihsan itu menurut ulama yang menganggapnya sebagai ‘hukum’, agar tidak ada orang jahil yang terkecoh, dan tidak dijadikan dalil oleh pelaku bid’ah.

Kita katakan: Ada dua imam yang menganggap istihsan sebagai dalil yang mu’tabar, yaitu Imam Malik dan Abu Hanifah, rahimahumallaah. Menurut yang telah dibakukan dari madzhab mereka, istihsan merujuk kepada pengamalan salah satu dari dalil yang paling kuat, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnul Arabi Al Maliki. Ini pula yang bisa ditangkap dari perkataan Al Karkhi (salah seorang ulama Hanafi), yang berbunyi: “Istihsan adalah tidak menghukumi suatu masalah dengan hukum yang sama dengan masalah-masalah semisal, namun beralih ke hukum lainnya karena adanya alasan yang lebih kuat”. Sedangkan definisi istihsan menurut Ibnul Arabi adalah: “Mengutamakan untuk tidak mengikuti konsekuensi suatu dalil, dengan cara mengecualikan atau mencari keringanan, karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan konsekuensi dalil tersebut”.
Ibnul Arabi lantas membagi istihsan dalam beberapa bagian, di antaranya: Tidak mengamalkan dalil karena kebiasaan; tidak mengamalkannya karena suatu kemaslahatan; tidak mengamalkannya dalam hal-hal yang sepele agar tidak memberatkan, sembari menyebutkan contoh-contohnya.
Sedangkan Ibnu Rusyd Al Maliki mendefinisikannya sebagai: “Tidak menggunakan qiyas dalam suatu kasus, karena adanya makna tertentu dalam kasus tersebut yang mempengaruhi hukumnya”.
Pengertian istihsan menurut definisi-definisi tadi, tetap tidak keluar dari cakupan dalil-dalil. Dan dalil-dalil itu saling membatasi dan mengkhususkan satu sama lain.

Jadi, istihsan tidak bisa menjadi hujjah (argumentasi) bagi pelaku bid’ah, dan tidak bisa menjadi pegangan bagi orang yang hendak melakukannya tanpa ada dalilnya.
Adapun mereka yang berpegangan dengan istihsan dalam pengertian: “Apa yang dianggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya, dan cenderung kepadanya berdasarkan pendapatnya”, atau dalam pengertian: “Suatu dalil yang melintas di benak mujtahid, akan tetapi ia tidak bisa mengungkapkannya dan tidak sanggup menunjukkannya”; maka kita tidak mengenal adanya ibadah yang bisa dilakukan berdasarkan pengertian tersebut; baik dengan alasan darurat, dengan alasan pengamatan, maupun karena dalil yang bersifat qothi’ atau zhanni sekalipun.

Istihsan dalam pengertian inilah yang dimaksud oleh Imam Syafi’i rahimahullah ketika mengatakan: (مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ), “Siapa yang ber-istihsan, berarti telah membikin syari’at (baru)”.

Sebagaimana diketahui bersama, para sahabat radhiyallaahu ‘anhum hanya menggunakan pengamatan (analisa) dalam beberapa kejadian dan peristiwa yang tidak ada nash (dalil)-nya. Ketika itu mereka ber-istimbath (menyimpulkan), dan mengembalikan hukum peristiwa tsb kepada dasar-dasar agama yang mereka fahami. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengatakan: “Aku memutuskan begini karena akalku menganggapnya baik, atau naluriku cenderung kepadanya”.

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari setiap bid’ah dan pelakunya. Engkau-lah satu-satunya yang dapat mengabulkan permintaan ini… dan kami memohon kepada-Mu agar selalu berada di atas Sunnah dan mendapat ‘afiyah… Amien.

Disadur dari artikel berjudul: “Al Bid’ah wa Aatsaaruhas sayyi’ah”, oleh DR. Abdul Karim Murad, Dekan Fakultas Syari’ah di Univ. Islam Madinah.

[1] Yaitu penutup kaki dari kulit yang betuknya mirip kaos kaki.
[2] Contohnya: Mengapa Allah memerintahkan kita untuk berkurban pada tanggal 10 Dzul Hijjah dan menganggapnya sebagai amalan yang paling besar pahalanya, namun jika ia berkurban sebelum shalat ‘ied maka kurbannya dianggap tidak sah? Mengapa Allah mewajibkan kita untuk puasa selama bulan Ramadhan namun mengharamkannya pada hari pertama bulan berikutnya? Dan lain-lain.
tulisan diambil dari sini

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih