Yang Perlu diperhatikan Sa'at Puasa
Oleh: Arif Rohman Habib
Segala puji bagi Allah yang atas
nikmat dan karunia-Nya sebentar lagi kita akan berjumpa dengan bulan
yang penuh dengan berkah dan kemuliaan, yaitu bulan Ramadhan -insya
Allah.
Sebagai seorang muslim, tentunya kita
harus antusias dalam mengisi waktu kita di bulan Ramadhan dengan
amal-amal shalih yang dicintai Allah ta’ala. Namun, seorang
muslim tidaklah akan dapat mengerjakan ibadah-ibadah yang benar serta
sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya di bulan Ramadhan melainkan dia
telah memiliki ilmu tentang ibadah-ibadah tersebut. Apa yang akan kami
paparkan berikut ini merupakan kelanjutan dari pembahasan hukum seputar
puasa pekan lalu.
SUNNAH-SUNNAH PUASA
[1] Mengakhirkan Sahur
Makan sahur memiliki banyak keutamaan. Selain karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menganjurkannya, makan sahur merupakan pembeda antara puasa kaum
muslimin dengan puasa ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Perbedaan antara puasa kita dengan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur” (HR. Muslim)
Dianjurkan pula mengakhirkan makan sahur karena Nabi sering melakukannya. Zaid bin Tsabit berkata kepada Anas “Kami makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat”. Anas bertanya “Berapa lama jarak antara adzan shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab “Sekitar membaca 50 ayat” (HR. Bukhari-Muslim)
Di dalam hadits di atas juga terdapat
dalil bahwa batas akhir sahur adalah adzan subuh, bukan yang
diistilahkan dengan imsak oleh kebanyakan kaum muslimin hari ini. Ini
terbukti dari pertanyaan Anas “Berapa lama jarak antara adzan shubuh dan sahur kalian?”. Hal ini menunjukkan bahwa batas akhir sahur di masa Nabi adalah adzan subuh. Hadits ini memperkuat firman Allah ta’ala “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187). Di samping itu, terdapat banyak hadits yang menunjukkan bahwa batas akhir makan sahur adalah adzan subuh.
[2] Menyegerakan berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”
(HR. Bukhari-Muslim). Ibnu ‘Abdil Barr berkata “Hadits-hadits tentang
menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur derajatnya shahih dan
mutawatir (banyak yang meriwayatkan). Di dalam riwayat Abdurrazzaq yang
shahih dari ‘Amr bin Maimun, beliau berkata “Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling bersegera berbuka dan yang paling mengakhirkan sahur”. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Hajar).
[3] Berbuka dengan Kurma jika ada atau dengan air
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan “Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan rathb
(kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada, maka beliau
berbuka dengan tamr (kurma kering). Jika tidak ada pula, maka beliau
berbuka dengan beberapa teguk air” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, hasan shahih).
[4] Berdo’a ketika berbuka
Do’a yang shahih yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka adalah sebagai berikut “Dzahabat zhama’u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah” yang artinya “Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah dan pahala telah ditetapkan insya Allah” (HR Abu Dawud, hasan).
Adapun do’a yang populer di kalangan kaum muslimin yaitu “Allahumma laka shumtu…dst” yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Thabrani derajatnya dha’if (lemah)
sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil. Di antara ulama’ yang
mendha’ifkan hadits ini adalah Ibnul Qayyim dan Syaikh Al Albani. Oleh
karena itu, cukuplah hadits hasan yang telah disebutkan sebelumnya
dijadikan sebagai pegangan beramal disebabkan karena hadits hasan dapat
dijadikan sebagai dalil.
[5] Memberi makan orang yang berbuka
Memberi makan orang yang berbuka mengandung keutamaan yang besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa
yang memberi makan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka dia
mendapat pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi
pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun juga” (HR Tirmidzi, shahih).
HAL-HAL YANG DIPERBOLEHKAN
Seorang hamba yang taat dan memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah ta’ala menghendaki
kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan, sehingga
syari’at yang bijaksana ini membolehkan beberapa perkara untuk
dikerjakan oleh orang yang tengah berpuasa, di antaranya:
[1] Tetap berpuasa meski mendapati waktu subuh dalam keadaan junub (hadats besar)
Seseorang yang mendapati waktu subuh
dalam keadaan junub boleh untuk tetap berpuasa sebagaimana yang
diriwayatkan oleh dua istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati fajar (waktu
subuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya kemudian
beliau mandi dan tetap berpuasa” (HR Bukhari-Muslim)
[2] Bersiwak (sikat gigi)
Boleh bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak karena tidak ada larangan khusus dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersiwak ketika tengah berpuasa. Bahkan siwak di anjurkan setiap saat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Siwak itu membuat mulut bersih dan diridhai Allah” (HR
An Nasa’i, shahih). Para ulama hanya berbeda pendapat tentang makruh
atau tidaknya bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika setelah zawal
(matahari tergelincir ke barat). Namun, sekali lagi tidak ada dalil
khusus yang memakruhkan apalagi melarang bersiwak ketika tengah berpuasa
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ fatawa.
[3] Berkumur-kumur dan isytinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dengan nafas) dengan tidak berlebihan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan bersungguh-sungguhlah kalian ber-isytinsyaq (ketika wudhu) kecuali dalam keadaan berpuasa” (HR Tirmidzi, shahih). Artinya, boleh ber-isytinsyaq ketika berpuasa akan tetapi tidak bersungguh-sungguh (berlebihan).
[4] Bercumbu (bukan bersetubuh) dengan istri dan menciumnya.
Hal ini dibolehkan selama tidak keluar mani. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu (istrinya)
dalam keadaan berpuasa karena beliau adalah orang yang paling kuat
menahan syahwatnya” (HR Bukhari-Muslim).
[5] Berbekam dan donor darah
Mayoritas ulama membolehkan orang yang
berpuasa untuk berbekam. Adapun hadits tentang batalnya puasa orang yang
berbekam yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Abu Dawud memang
shahih, akan tetapi telah di-mansukh (dihapus hukumnya) oleh hadits
riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan beliau berpuasa” (HR
Bukhari). Disamakan pula hukumnya dengan donor darah karena sama-sama
mengeluarkan darah dari dalam tubuh. Akan tetapi, para ulama
mempersyaratkan bekam dan donor darah tersebut boleh jika tidak membuat
lemas.
[6] Mencicipi makanan asal tidak masuk ke kerongkongan
Dalilnya adalah perkataan Ibnu Abbas, “Tidak mengapa seseorang mencicipi cuka atau sesuatu dalam keadaan sedang berpuasa selama tidak masuk ke kerongkongan” (HR Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), Ibnu Abi Syaibah, dan Al Baihaqi)
[7] Mandi dan menyiramkan air di kepala supaya segar
Hal ini berdasarkan hadits riwayat
Bukhari Muslim dalam pembahasan bolehnya berpuasa ketika mendapati fajar
dalam keadaan junub yang telah kami sebutkan (poin 1). Selain itu,
dikuatkan dengan hadits dari Abu Bakr bin Abdurrahman beliau berkata “Sungguh
aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Araj
mengguyur kepalanya dengan air dalam keadaan beliau sedang berpuasa
–karena keadaan yang sangat panas terik- ” (HR Abu Dawud dan Ahmad, shahih).
JANGAN SIA-SIAKAN PUASAMU…
Kaum muslimin rahimakumullah,
sesungguhnya puasa itu tidak semata-mata menahan diri dari makan, minum,
dan syahwat. Akan tetapi, puasa juga mencakup menahan diri dari
perbuatan dosa dan kemaksiatan. Tidakkah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi peringatan bagi kita? “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga semata dari puasanya tersebut” (HR
Ahmad,Ibnu Majah, dan Ad Darimi dengan sanad shahih). Berikut ini
adalah hal-hal yang dapat menjadikan puasa kita tidak berarti di sisi
Allah ta’ala.
[1] Berkata dusta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perbuatan dusta malahan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh kepada rasa lapar dan haus yang dia tahan” (HR Bukhari). Dan sungguh hal ini masih banyak diremehkan oleh banyak kaum muslimin sehingga sadar atau tidak sadar ada yang masih melakukan perbuatan dusta meskipun dia sedang berpuasa.
[2] Ghibah
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perbuatan dusta malahan mengamalkannya, maka Allah tidak butuh kepada rasa lapar dan haus yang dia tahan” (HR Bukhari). Dan sungguh hal ini masih banyak diremehkan oleh banyak kaum muslimin sehingga sadar atau tidak sadar ada yang masih melakukan perbuatan dusta meskipun dia sedang berpuasa.
[2] Ghibah
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
[3] Berkata sia-sia dan kotor
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
”Tidaklah puasa itu hanya sebatas menahan makan dan minum, akan tetapi puasa itu juga menahan diri dari berkata sia-sia dan kotor. Maka apabila ada seseorang yang mencela dan menjahilimu, maka katakanlah ‘Aku sedang puasa, aku sedang puasa’” (HR. Hakim dan Ibnu Khuzaimah, shahih)
Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al Akhfasy mengatakan,
Lalu apa yang dimaksudkan dengan rofats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar mengatakan,
Al Azhari mengatakan,
Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
”Tidaklah puasa itu hanya sebatas menahan makan dan minum, akan tetapi puasa itu juga menahan diri dari berkata sia-sia dan kotor. Maka apabila ada seseorang yang mencela dan menjahilimu, maka katakanlah ‘Aku sedang puasa, aku sedang puasa’” (HR. Hakim dan Ibnu Khuzaimah, shahih)
Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al Akhfasy mengatakan,
اللَّغْو الْكَلَام الَّذِي لَا أَصْل لَهُ مِنْ الْبَاطِل وَشَبَهه
“Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”Lalu apa yang dimaksudkan dengan rofats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar mengatakan,
وَيُطْلَق عَلَى التَّعْرِيض بِهِ وَعَلَى الْفُحْش فِي الْقَوْل
“Istilah Rofats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji.”Al Azhari mengatakan,
الرَّفَث اِسْم جَامِع لِكُلِّ مَا يُرِيدهُ الرَّجُل مِنْ الْمَرْأَة
“Istilah rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rofats adalah kata-kata porno.Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.
[4] Maksiat secara umum
Hendaknya seorang yang berpuasa
meninggalkan seluruh perbuatan maksiat. Meskipun maksiat tersebut tidak
membatalkan puasa, namun maksiat tersebut dapat mengantarkan pelakunya
ke tingkat puasa yang paling rendah, yaitu hanya meninggalkan makan dan
minum semata, sebagaimana riwayat salaf yang dinukil oleh Ibnu Rajab
dalam Latha’iful Ma’arif.
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus:
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,
Itulah puasa kebanyakan orang saat ini. Ketika ramadhan dan di luar ramadhan, kondisinya sama saja. Maksiat masih tetap jalan. Betapa banyak kita lihat para pemuda-pemudi yang tidak berstatus sebagai suami-istri masih saja berjalan berduaan. Padahal berduaan seperti ini telah dilarang dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun hal ini tidak diketahui dan diacuhkan begitu saja oleh mereka.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Apalagi dalam pacaran pasti ada saling pandang-memandang. Padahal Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan kita memalingkan pandangan dari lawan jenis. Namun, orang yang mendapat taufik dari Allah saja yang bisa menghindari semacam ini. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
Kalau di luar Ramadhan, perbuatan maksiat semacam ini saja jelas-jelas dilarang maka tentu di bulan Ramadhan lebih tegas lagi pelarangannya. Semoga kita termasuk orang yang mendapat taufik dari Allah untuk menjauhi berbagai macam maksiat ini.
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus:
“Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,
أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ
“Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”Itulah puasa kebanyakan orang saat ini. Ketika ramadhan dan di luar ramadhan, kondisinya sama saja. Maksiat masih tetap jalan. Betapa banyak kita lihat para pemuda-pemudi yang tidak berstatus sebagai suami-istri masih saja berjalan berduaan. Padahal berduaan seperti ini telah dilarang dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun hal ini tidak diketahui dan diacuhkan begitu saja oleh mereka.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita
yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang
ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi –shohih dilihat dari jalur lain-)Apalagi dalam pacaran pasti ada saling pandang-memandang. Padahal Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan kita memalingkan pandangan dari lawan jenis. Namun, orang yang mendapat taufik dari Allah saja yang bisa menghindari semacam ini. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku. (HR. Muslim no. 5770)Kalau di luar Ramadhan, perbuatan maksiat semacam ini saja jelas-jelas dilarang maka tentu di bulan Ramadhan lebih tegas lagi pelarangannya. Semoga kita termasuk orang yang mendapat taufik dari Allah untuk menjauhi berbagai macam maksiat ini.
Demikian pembahasan ini kami sampaikan,
sebenarnya banyak yang perlu untuk dibahas dan diperinci, akan tetapi
pembahasan ini semoga dapat mencukupi kaum muslimin. Wallahu a’lam bish shawab. [Arif Rohman Habib]
Rujukan: [1] Shifat Shaum Nabi karya Syaikh Salim Al Hilali dan Syaikh Ali Hasan. [2] Matan Al Ghayah Wat Taqrib fil fiqhi Asy Syafi’i dengan ta’liq Majid Al Hamawi. [3] Panduan Ramadhan karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
artikel diambil dari sini dengan sedikit tambahan
4 tanggapan:
hmmm makasih banget mas ilmunya sangat bermanfaat sekali
artikel bermanfaat
بارك الله فيكم
perkara penting tapi sering dilupakan
جزاكم الله خيرا
atas kunjungannya
semoga dengan memperhatikan beberapa perkara diatas
mudah-mudahan puasa kita adalah puasa yang betul-betul membuat diri kita menjadi orang-orang yang bertakwa
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih