dan salam semoga tercurah kepada teladan kaum beriman Muhammad bin
Abdullah, dan juga para pengikutnya yang setia kepada ajaran-ajarannya di
saat suka maupun duka. Amma badu.
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang
Maha Bijaksana. Allah taala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ
بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang
beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.
(Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma
bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu
ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang
siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan
takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan
pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki
hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan
sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan
keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil
darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang
diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
radhiyallahuanhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), Barang
siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.
Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia
menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset
darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak
akan pernah menimpa dirinya (lihat Tafsir al-Quran al-Azhim [4/391] cet.
Dar al-Fikr)
Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-Amasy yang meriwayatkan
dari Abu Dhabyan, dia berkata, Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah,
ketika dia membaca ayat ini barang siapa yang beriman kepada Allah maka
Allah akan menunjuki hatinya dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka
beliau menjawab, Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang
tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi
Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya. Atsar ini
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka.
Said bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, Yaitu
-Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja yaitu
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. (lihat Tafsir al-Quran al-Azhim [4/391]
cet. Dar al-Fikr)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi rahimahullah menjelaskan bahwa ayat
di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa,
harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala
musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha dan qadar Allah.
Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena
takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah
memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang
adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya
ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya?
Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah
ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu
datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan
segala urusannya -kepada Allah, pent- niscaya Allah akan tunjuki hatinya.
Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan
tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak
mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu
Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika
terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab
itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan
yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat.
Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah taala (yang artinya),
Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar
itu dengan tanpa batas hitungan. (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867],
software Maktabah asy-Syamilah)
Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang
tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah dan dia
meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan
sebab-sebab yang tampak niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa
petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba
disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang
diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan
hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akherat
akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas
juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala
perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik
dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan
berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama
untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya
sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan
petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan
Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah
orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai
musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu
ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka
(dengan sedikit peringkasan dari Taisir al-Karim ar-Rahman [1/867],
software Maktabah asy-Syamilah)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di
dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha dan qadar dari Allah
taala.
Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah
merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di
sini dengan iman.
Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan
kekuatan iman dan keyakinan ((Ianat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid
[3/140] software Maktabah asy-Syamilah)
Kedudukan Sabar dan Pengertiannya
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu mengatakan,
الصَّبْرُ مِنَ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ ، فَإِذَا
ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ الإِيمَانُ.
Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah
lenyap maka lenyap pulalah keimanan. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syuab al-Iman [40], bagian awal
atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dhaif al-Jami [3535], lihat
Shahih wa Dhaif al-Jami as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah)
Walaupun secara sanad atsar ini dinilai lemah, namun secara makna bisa
diterima. Hal itu dikarenakan cakupan sabar yang demikian luas dalam agama
Islam. Ia mencakup sikap seorang hamba dalam menghadapi berbagai perintah
dan larangan serta berbagai keadaan yang dialami manusia di dalam
kehidupan, di saat senang maupun susah. Untuk itu, marilah kita cermati
pengertian sabar ini agar jelas bagi kita bahwa hidup tanpa kesabaran pada
akhirnya akan menyeret manusia dalam jurang kekafiran.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,
الصبر لغة: الحبْس، قال الله تعالى لنبيه: {وَاصْبرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ} أي: احبسها مع هؤلاء. وأما في الشرع فالصبر هو: حبس
النفس على طاعة الله سبحانه وتعالى وترك معصيته. وذكر العلماء: أن الصبر له
ثلاثة أنواع: صبرٌ على طاعة الله، وصبرٌ عن محارم الله، وصبرٌ على أقدار الله
المؤلِمة.
Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah taala berfirman
kepada nabi-Nya (yang artinya), Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang
berdoa kepada Rabb mereka. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap
bersama mereka. Adapun di dalam istilah syariat, sabar adalah: menahan diri
di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa taala dan untuk meninggalkan
kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. Para ulama menyebutkan bahwa sabar itu
ada tiga macam: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam
menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah, dan sabar saat menghadapi
takdir Allah yang terasa menyakitkan. (Ianat al-Mustafid bi Syarhi Kitab
at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah)
Ketika kesabaran lenyap
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
اثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ
وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
Ada dua buah perkara dalam diri manusia yang merupakan bentuk kekafiran.
Mencaci maki garis keturunan dan meratapi mayit. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahuanhu)
an-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat bahwa yang dimaksud hadits ini
adalah kedua perbuatan ini tergolong perbuatan orang-orang kafir (Syarh
an-Nawawi ala Muslim [2/57] software Maktabah asy-Syamilah). Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah menerangkan bahwa hadits ini mencakup dua makna. Yang
pertama yang dimaksud kufur di sini adalah kufur nikmat -tidak sampai
mengeluarkan dari agama, pent- sedangkan yang kedua yang dimaksud adalah
keduanya digolongkan sebagai perbuatan orang-orang kafir (Kaysf al-Musykil
min Hadits Shahihain [1/1025] software Maktabah asy-Syamilah).
Di antara pelajaran berharga yang bisa dipetik dari hadits ini adalah:
Diharamkannya mencaci maka nasab/garis keturunan dan meratapi mayit.
Isyarat yang menunjukkan bahwasanya kedua perbuatan ini akan tetap muncul
di dalam umat ini.
Bisa jadi di dalam diri seseorang terdapat sifat atau ciri kekafiran namun
dia tidak bisa dicap sebagai orang kafir -semata-mata karena hal itu-
Islam melarang segala sesuatu yang mengarah kepada perpecahan (lihat
al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz
al-Qorawi, hal. 272)
Hikmah di balik derita
Tidaklah kita ragukan barang sedikitpun bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha
Bijaksana, tidak sedikit pun Allah menganiaya hamba-Nya. Allah taala
berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ
الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ()
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ () أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
Benar-benar Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan,
serta kekurangan harta, lenyapnya nyawa, dan sedikitnya buah-buahan. Dan
berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang
yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, Sesungguhnya kami ini
adalah milik Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat.
Dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk. (Qs. al-Baqarah:
155-157)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي
الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَلَيْهِ
بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah
segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan
balasannya kelak di hari kiamat. (HR. Muslim)
Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memberitakan bahwa ada kalanya Allah taala memberikan musibah kepada
hamba-Nya yang beriman dalam rangka membersihkan dirinya dari
kotoran-kotoran dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya
nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akherat maka beban yang
dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah
memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karena rasa
cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda
hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akherat mereka
akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat
beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan
merasakan bahwa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah.
Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah
juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah
tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para
hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah
mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qorawi
dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275)
Di antara pelajaran berharga bagi kehidupan kita dari hadits yang agung ini
adalah:
Allah memiliki kehendak yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan diri-Nya.
Kebaikan dan keburukan semuanya ditakdirkan oleh Allah taala.
Cobaan/musibah yang menimpa orang-orang yang beriman merupakan salah satu
tanda kebaikan baginya selama hal itu tidak menyebabkannya meninggalkan
kewajiban atau terjatuh dalam perkara yang diharamkan.
Semestinya seseorang merasa khawatir atas kenikmatan dan kesehatan yang
selama ini senantiasa dia rasakan. Sebab boleh jadi itu adalah
istidraj/bentuk penundaan hukuman baginya, sementara dia tahu betapa banyak
maksiat yang telah dilakukannya, wal iyadzu billah.
Wajibnya untuk berprasangka baik kepada Allah atas segala perkara dunia
yang tidak mengenakkan yang menimpa diri kita.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak
selalu mencerminkan bahwa Allah meridhai hal itu untuknya. Seperti
contohnya orang yang setiap kali hendak minum khamr kemudian dia selalu
mendapatkan kemudahan untuk mendapatkannya, atau bahkan memperolehnya
secara gratis. Maka ini semua bukanlah bukti kalau Allah menyukai hal itu
untuknya (diambil dari al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275 dengan
sedikit tambahan keterangan dan contoh)
Inilah uraian ringkas yang bisa kami sajikan dalam tuisan yang sangat
sederhana ini, semoga bermanfaat bagi kita semua. Wa shallallahu ala
Nabiyyina Muhammadin wa ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil alamin.
Yogyakarta, Sabtu 14 Syawwal 1430 H
Hamba yang mengharapkan ampunan Rabbnya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel abu0muhslih.wordpress.com dipublikasi ulang oleh www.muslim.or.id
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih