Sabtu, 26 Desember 2009

Keutamaan Puasa di Bulan Muharram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan
Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib
(lima waktu) adalah shalat malam.[1].

Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan
Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan
lainnya, setelah bulan Ramadhan[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

- Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa
Aasyuura (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu
anhum untuk melakukannya[3], dan ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam
ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu[4].

- Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan
puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan
Nashrani, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika disampaikan
kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan
orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,

فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ
التَّاسِعَ

Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada
tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram). [5]

- Adapun hadits,

صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ
يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً

Berpuasalah pada hari Aasyuura dan selisihilah orang-orang Yahudi,
berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.[6], maka hadits ini
lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya
berpuasa pada tanggal 11 Muharram[7].

- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya)
berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang
Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna
jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya[8].

- Sebab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal
10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta'ala menyelamatkan Nabi
Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Firaun dan bala
tentaranya, maka Nabi  Musa alaihis salam pun berpuasa pada hari itu
sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan
ini, maka beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ

Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa alaihis salam daripada
mereka[9]. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau
shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10
Muharram[10].

- Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling
besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu[11].

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al Buthoni, M.A.

Artikel www.muslim.or.id


[1] HSR Muslim (no. 1163).
[2] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam Syarhu
Riyadhis Shalihin (3/341).
[3] Dalam HSR al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130).
[4] HSR Muslim (no. 1162).
[5] HSR Muslim (no. 1134).
[6] HR Ahmad (1/241), al-Baihaqi (no. 8189) dll, dalam sanadnya ada perawi
yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia  sangat buruk
hafalannya (lihat Taqriibut Tahdziib hal. 493). Oleh karena itu syaikh
al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dhaiful Jaami (no. 3506).
[7] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/385).
[8] Lihat keterangan Syeikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam
as-Syarhul Mumti (3/101-102).
[9] Semua ini disebutkan dalam HSR al-Bukhari (3216) dan Muslim (1130).
[10] Lihat keterangan syaikh Muhammad al-Utsaimin dalam Syarhu Riyadhis
Shalihin (3/412).
[11] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/329).

--
You are subscribed to email updates from "Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah
Menebarkan Sunnah."

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih