![]() Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib) Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan. Ketiga : Pelafalan perjanjian Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas. RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2] Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram. [4] [A]. Modal Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
Conothnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan. [B]. Jenis Usaha Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. [17] Ibnu Qudamah di dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni”. Ibnu Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase”. [18] [2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor). [18] Ibnu Qudamah menyatakan: “Di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan "ambil harta ini secara mudharabah" dan ketika akan tidak disebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra'yi (Hanafiyah)”. [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini. [3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21] [4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22] Ibnu Qudamah menyatakan: “Jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para ulama”. Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal: [a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan. [b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya. [c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian. Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23] [5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir. Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa Dua Macam. [a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak. [b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24] RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI) Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25] Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga terbangunlah mua'amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak lain. Wallahu a'lam __________ Foote Note [1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh Muhammad Najib Al-Muthi'i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu al-Muhadzab (15/148). [2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu'amalah karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169 [3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123 [4]. Lihat kitab Ma'la Yasa'u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173 [5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op, cit (15/143) [6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti, op.cit (4/258) [7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit (15/144) [8]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/145) [9]. Ibid (15/146-147) [10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176 [11]. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177) [12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177 [13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144) [14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160) [15]. Inid (15/159) [16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit. (4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160). [17]. Masalah kerugian lihat artikel "Membagi Kerugian Dalam Mudharabah". [18]. Al-Mughni, op.cit. (7/138) [19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123 [20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140) [21]. Ibid (7/165) [22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123 [23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172) [24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182 [25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169 — Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel UstadzKholid.Com |
You are subscribed to email updates from UstadzKholid | |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih