Minggu, 10 Januari 2010

PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT, BENARKAH...??!!

I. PENGANTAR

"Perselisihan umatku adalah rahmat". Hampir tidak ada di antara kita
yang tak pernah mendengar atau membaca hadits ini.  Ia sangat begitu
akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah,
penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.

Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Apakah
kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa
dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk
mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan
berikut mencoba untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan
ilmu yang bermanfaat kepada kita. Amiin.

 

B. TEKS HADITS

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perselisihan umatku adalah rahmat.

TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan
sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh
as-Suyuthi berkata dalam al-Jami' ash-Shaghir: "Barangkali saja hadits
ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada
kita!"[1] Syaikh Al-Albani berkata, "Menurutku ini sangat jauh sekali,
karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak
diyakini seorang muslim.

Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: "Hadits ini tidak
dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad
shahih, dha'if (lemah), maupun maudhu' (palsu)." Dan disetujui oleh
Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta'liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]

Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu
Hajar berkata: "Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan
dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak
ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul
Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi
saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya".[3]

Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh
Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa
hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau
sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai
hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan
perasaan?!

Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su'ud
al-Funaisan berjudul "Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan",
beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga
suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan
mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan
lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas,
mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah
Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:
"Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan
itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak
mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara
persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab".[5]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:
"Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara
kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat
runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal
mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan hadits yang shohih
sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab
seperti syari'at yang berbeda-beda!!
Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa
diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali
dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan!
Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari'at suatu
kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini
bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang
Al-Qur'an (yang artinya):

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

(QS. An-Nisa: 82)
Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari
Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari'at yang
diikuti dan suatu rahmat?!

Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum
muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak
masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai
bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat
Ibnu Mas'ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur'an
dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk
bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini
bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari'at[6]. Maka
sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk
melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan
faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Anfal: 46)
Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu
rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur'an yang secara
tegas mencela perselisihan,  tidak ada sandarannya kecuali hadits yang
tidak ada asalnya dari Rasulullah ini". [7]

D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa
perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik
dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.

(QS. Hud: 118-119)
Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan,
karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan
dalam memahaminya:

Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk
menyuburkan kesalahan, kebid'ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka
memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan,
manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan
"Ini adalah masalah khilafiyyah", "Jangan mempersulit manusia".
Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah
dan hukum yang telah mapan dengan alasan  "kemodernan zaman" dan
"kebebasan berpendapat" sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan
zaman sekarang.[8]

Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan,
sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama,
sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam
yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika
i'tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika
tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

E. MEMAHAMI PERSELISIHAN

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar
dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga
meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat
kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua
macam:

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari
Al-Qur'an atau hadits atau ijma' ulama. Hal ini memiliki beberapa
gambaran:

Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti
perselisihan ahli bid'ah dari kalangan Syi'ah, Khowarij, Mu'tazilah
dan sebagainya.[10]
Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti
perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah
bodoh.[11]
Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena
ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh
diikuti[12].

Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan
Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong
tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan
yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan
Mu'tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di
akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu
dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih
ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan
sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا

إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].

 

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat
ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam
masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi'i berkata: "Perselisihan itu
ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya
pada yang jenis kedua".[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau
diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih
kuat[15].

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita
sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita
yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga
menyulut api perselisihan.

Imam Qotadah: "Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama,
maka hidungnya belum mencium bau fiqih".[16]

Imam Syafi'I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: "Wahai Abu Musa,
Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak
bersepakat dalam suatu masalah?!".[17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab
untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari
semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:
Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. An-Nisa': 59)
F. Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- 'Utsaimin

"Termasuk  di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama'ah dalam masalah
khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad
dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling
toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka
bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di
dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para
shahabat dan tabi'in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah
tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal
perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang
menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap
perselisihannya".[18]

.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

www.abiubaidah.com

.

CATATAN KAKI:

[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini,
katanya: "Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan
hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak
mendapati ulama yang mengeluarkannya". (Al-Mudawi li 'Ilalil Jami'
Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha'ifah: 57

[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.

[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto'a fi Tashihiha Ba'dhul Ulama
hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-'Uwain.

[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)

[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: "Perselisihan
bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan
maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh
sahabat Ibnu Mas'ud". (Syarh Mandhumah Al-Ha'iyah hlm. 193).

[7] Silsilah Ahadits adh-Dha'ifah 1/142-143 -secara ringkas-.

[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu'ashir oleh Abdullah
bin Ibrahim ath-Thowil.

[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab
Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan
Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi'ul Adillah
2/326 oleh as-Sam'ani.

[11] Lihat Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[12] Lihat Qowa'idul Ahkam 1/216 oleh al-'Izzu bin Abdis Salam.

[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur'an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[14] Ar-Risalah hlm. 259.

[15] Irsal Syuwath 'ala Man Tatabba'a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin
Ali asy-Syamroni.

[16] Jami' Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 10/16, lalu
berkomentar: "Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi'I dan
kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih
pendapat".

[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.

Komentari tulisan ini:
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/11/30/perselisihan-adalah-rahmat-benarkah/#respond

--
WordPress.com | Terima kasih karena terbang bersama WordPress!

Manage your subscriptions by opening this link:
http://dashboard.wordpress.com/wp-admin/index.php?page=subscriptions

0 tanggapan:

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih