Makna Rukhshah dan Pembagiannya
Oleh Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:
الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:
{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu melakukannya)”.[HR. Bukhari]
PEMBAGIAN RUKHSHAH.
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:
1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain". [al-Baqarah/2:184].
Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya [1].
Pada kitab yang sama Syaikh Nashiruddin Albany menyebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur. Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat orang: hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud, Baihaqi-Shahih].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir” [2]
Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan orang banyak pernah bertanya kepada Lajnah Daimah di Saudi Arabia apakah dia boleh tidak ikut shalat berjamaah atau shalat jumat?. Lajnah Daimah menjawab sebagai berikut: Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jum’ah/62:9]
Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar termasuk golongan orang-orang yang lengah.
Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan kamu.”
Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya. [3]
2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala, berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].
Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair bekata; saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.[4]
3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuhnya.
4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau musafir.
5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengeluarkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].
Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.
6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].
7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/4: 173].
Melakukan jual beli salam dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat, dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].
Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.
Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat” [HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].
Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak?, menjawab : Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak. Walaupun demikian boleh saja mereka berpusa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata; Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah mereka salah (kalau berpuasa)? Rasulullah menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya. [HR Muslim].
Wallahu ‘A’lam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :
a). Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.
b). Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu. (an-Nisaa/4:101). Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).Umar bin Khatab berkata:
عجب مما عجبت منه ، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك . فقال : صدقة تصدق الله بها عليكم ، فاقبلوا صدقته .
Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan bersabda,” Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya”.
c). Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala senang kalau shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تترك معصيته .
Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan maksiat kepada-Nya. [HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].
d). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha ia berkata : "Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah [HR.Bukhari dan Muslim].
Wallahu ‘A’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Albani menyebutkan dalam kitab Irwa’ juz 4 hal 19 dari al-Thabary dan beliau berkata; sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Muslim
[2]. HR.Daraquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Abdul Adzim al-Khalfi di kitab al-Wajiz hal. 142.
[3]. Fatawa lil Muwazhzhafin lajnah Daaimah , tartib Dakhilullah al-Mufhrafy
[4]. Lihat Al Wajiz Fi Fiqh As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi, hlm. 141.
aryikel dicoppast dari sini
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih