Tawassul, Ibadah Agung yang Banyak Diselewengkan Pembagian tawassul Secara garis besar, tawassul terbagi menjadi dua, yaitu tawassul yang disyariatkan (tawassul yang benar) dan tawassul yang dilarang (tawassul yang salah) [lihat rincian pembagian ini dalam Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1-5) dan kitab Kaifa Nafhamut Tawassul (hal. 4 -14), tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu). 1. Tawassul yang disyariatkan adalah tawassul yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Quran (dalam ayat tersebut di atas) dan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta diamalkan oleh para shahabatradhiallahu 'anhum (lihat kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 4). Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan sarana yang dibenarkan (dalam agama Islam) dan menyampaikan kepada tujuan yang diinginkan (mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) [Kutubu wa Rasa-il syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimin (79/1)]. Tawassul ini ada beberapa macam: A- Tawassul dengan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Mahaindah, inilah yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya, وللهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا "Dan Allah mempunyai al-asma-ul husna (nama-nama yang Mahaindah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-asma-ul husna itu." (QS. al-A'raaf: 180).Artinya: berdoalah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang Mahaindah sebagai wasilah (sarana) agar doa tersebut dikabulkan-Nya (lihat kitab At-Tawassulu Anwaa'uhu wa Ahkaamuhu, hal. 32). Tawassul ini disebutkan dalam banyak hadits yang shahih, di antaranya dalam doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagi orang yang ditimpa kesedihan dan kegundahan, "Aku memohon kepada-Mu (ya Allah) dengan semua nama (yang Mahaindah) yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan (bagi diri-Mu) pada ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau menjadikan al-Quran sebagai penyejuk hatiku, cahaya (dalam) dadaku, penerang kesedihanku dan penghilang kegundahanku." [HR. Ahmad (1/391), Ibnu Hibban (no. 972) dan al-Hakim (no. 1877), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, Ibnul Qayyim dalam Syifa-ul 'Aliil (hal. 274) dan Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahiihah (no. 199)]. B- Tawassul dengan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, sebagaimana doa Nabi Sulaiman 'alaihissalam dalam al-Quran, وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِين "Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh." (QS. an-Naml: 19).Juga dalam doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu terhadap (hal yang) gaib dan kemahakuasaan-Mu untuk menciptakan (semua makhluk), tetapkanlah hidupku selama Engkau mengetahui kehidupan itu baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika selama Engkau mengetahui kematian itu baik bagiku." [HR. an-Nasa-i (no. 1305 dan 1306), Ahmad (4/264) dan Ibnu Hibban (no. 1971), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani]. C- Tawassul dengan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana doa hamba-hamba-Nya yang shaleh dalam al-Quran, رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ "Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu), 'Berimanlah kamu kepada Rabb-mu.'; maka kamipun beriman. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (QS. Ali 'Imran: 193).D- Tawassul dengan kalimat tauhid, sebagaimana doa Nabi Yunus 'alaihissalam dalam al-Quran, وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ. فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِينَ "Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru (berdoa kepada Allah) di kegelapan, 'Laa ilaaha illa anta (Tidak ada sembahan yang benar selain Engkau), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.' Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (QS. al-Anbiyaa': 87-88).Dalam hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjamin pengabulan doa dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi orang yang berdoa kepada-Nya dengan doa ini (HR. at-Tirmidzi, no. 3505 dan Ahmad, 1/170, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani). E- Tawassul dengan amal shaleh, sebagaimana doa hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang shaleh dalam al-Quran, رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنزلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ "Wahai Rabb kami, kami beriman kepada apa (kitab-Mu) yang telah Engkau turunkan dan kami mengikuti (petunjuk) rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang tauhid dan kebenaran agama-Mu)." (QS. Ali 'Imran: 53).Demikian pula yang disebutkan dalam hadits yang shahih, kisah tentang tiga orang shaleh dari umat sebelum kita, ketika mereka melakukan perjalanan dan bermalam dalam sebuah gua, kemudian sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi pintu gua tersebut sehingga mereka tidak bisa keluar, lalu mereka berdoa kepada Allah dan ber-tawassul dengan amal shaleh yang pernah mereka lakukan dengan ikhlas kepada Allah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian menyingkirkan batu tersebut dan merekapun keluar dari gua tersebut [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2152) dan Muslim (no. 2743)]. F- Tawassul dengan menyebutkan keadaan dan ketergantungan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam doa Nabi Musa 'alaihissalam dalam al-Quran, رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ "Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. al-Qashash: 24).Juga doa Nabi Zakaria 'alaihissalam, رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا. وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا "Wahai Rabb-ku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, wahai Rabb-ku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari Engkau seorang putera." (QS. Maryam: 4-5).G- Tawassul dengan doa orang shaleh yang masih hidup dan diharapkan terkabulnya doanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat radhiallahu 'anhum di masa hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti perbuatan seorang Arab dusun yang meminta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar berdoa kepada Allah Ta'ala memohon diturunkan hujan, ketika beliau sedang berkhutbah hari Jumat, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa meminta hujan, lalu hujanpun turun sebelum beliau shallallahu 'alaihi wa sallam turun dari mimbar [Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 968) dan Muslim (no. 897)]. Kemudian setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, para shahabat radhiallahu 'anhum tidak meminta kebutuhan mereka kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan datang ke kuburan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, karena mereka mengetahui perbuatan ini dilarang keras dalam Islam. Akan tetapi, yang mereka lakukan adalah meminta kepada orang shaleh yang masih di antara mereka untuk berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seperti perbuatan shahabat yang mulia Umar bin khattab radhiallahu 'anhu di zaman kekhalifahan beliau radhiallahu 'anhu, jika manusia mengalami musim kemarau, maka beliau berdoa kepada Allah Ta'ala dan ber-tawassul dengan doa paman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Abbas bin 'Abdul Muththalib radhiallahu 'anhu. Umar radhiallahu 'anhu berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya dulu kami selalu ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) Nabi kami shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami, dan (sekarang) kami ber-tawassul kepada-Mu dengan (doa) paman Nabi kami shallallahu 'alaihi wa sallam ('Abbas radhiallahu 'anhu), maka turunkanlah hujan kepada kami." Lalu hujanpun turun kepada mereka (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 964 dan 3507). Demikian pula perbuatan shahabat yang mulia, Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhu di masa pemerintahan beliau radhiallahu 'anhu. Ketika terjadi musim kemarau, Mu'awiyah radhiallahu 'anhu bersama penduduk Damaskus bersama-sama melaksanakan shalat istisqa' (meminta hujan kepada Allah Ta'ala). Ketika Mu'awiyah telah naik mimbar, beliau berkata, "Dimanakah Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi?" Maka orang-orangpun memanggilnya, lalu diapun datang melewati barisan manusia, kemudian Mu'awiyah menyuruhnya untuk naik mimbar dan beliau sendiri duduk di dekat kakinya dan beliau berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa'at kepada-Mu dengan (doa) orang yang terbaik dan paling utama di antara kami, ya Allah, sesungguhnya hari ini kami meminta syafa'at kepada-Mu dengan (doa) Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi," wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu (untuk berdoa) kepada Allah!" Maka, Yazidpun mengangkat kedua tangannya, demikian pula manusia mengangkat tangan mereka. Tak lama kemudian muncullah awan (mendung) di sebelah barat seperti perisai dan anginpun meniupnya, lalu hujan turun kepada kami sampai-sampai orang hampir tidak bisa kembali ke rumah-rumah mereka (karena derasnya hujan) [Atsar riwayat Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasq (65/112) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam kitab At-Tawassulu Anwaa'uhu wa Ahkaamuhu (hal. 45)]. 2. Tawassul yang dilarang (dalam Islam) adalah tawassul yang tidak ada asalnya dalam agama Islam dan tidak ditunjukkan dalam dalil al-Quran maupun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu ber-tawasssul kepada Allah Ta’ala dengan sarana yang tidak ditetapkan dalam syariat Islam. Tawassul ini juga ada beberapa macam: A- Tawassul dengan orang yang sudah mati dan berdoa kepadanya selain Allah Ta’ala. Ini termasuk perbuatan syirik besar yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ “Dan janganlah kamu menyeru (memohon) kepada sembahan-sembahan selain Allah yang tidak mampu memberikan manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu), maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (QS. Yuunus: 106).Termasuk dalam hal ini adalah ber-tawassul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ini termasuk perbuatan syirik. Oleh karena itu, para shahabat radhiallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya, padahal mereka sangat mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. B- Tawassul dengan jaah (kedudukan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang-orang yang shaleh di sisi Allah. Ini termasuk tawassul yang bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh para shahabat radhiallahu ‘anhum, padahal mereka sangat mencintai dan memahami tingginya kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini dikarenakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bisa bermanfaat bagi siapapun kecuali bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, meskipun bagi orang-orang terdekat dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Kutubu wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin [79/5]), sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Fathimah putri (Nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mintalah dari hartaku (yang aku miliki) sesukamu, sesungguhnya aku tidak bisa mencukupi (memberi manfaat) bagimu sedikitpun di hadapan Allah.” (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13). Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini adalah bid’ah dan bukan kesyirikan, karena memohon kepada Allah. Akan tetapi terkadang bisa membawa kepada kesyirikan, yaitu jika orang yang bertawassul itu berkeyakinan bahwa Allah butuh kepada perantara (untuk mengetahui permintaan makhluk-Nya) sebaimana seorang pemimpin atau presiden (butuh kepada perantara), (maka ini termasuk syirik/ kafir) karena telah menyerupakan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Pencipta dengan makhluk-Nya, padahal Allah berfirman, لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. asy-Syuura: 11) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13).Sebagian orang yang membolehkan tawassul ini berdalil dengan sebuah hadits palsu, “Ber-tawassul-lah kalian (dalam riwayat lain: Jika kalian memohon kepada Allah maka memohonlah) dengan kedudukanku, karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sngat agung.” Hadits ini adalah hadits yang palsu dan merupakan kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorangpun dari para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (lihat kitab Al-Fatawal Kubra, 2/433 dan At-Tawassulu Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, hal. 128). C- Tawassul dengan hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hak para wali Allah. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Tawassul ini tidak diperbolehkan (dalam Islam), karena tidak ada satu nukilanpun dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan (kebolehannya). Imam Abu Hanifah dan dua orang murid utama beliau (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani) membenci (mengharamkan) seseorang yang mengucapkan dalam doanya, ‘(Ya Allah), aku memohon kepada-Mu dengan hak si Fulan, atau dengan hak para Nabi dan Rasul-Mu ‘alaihissalam, atau dengan hak Baitullah al-Haram (Ka’bah)’, atau yang semisal itu, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak atas Allah (lihat kitab Syarhul Ihya’) (Kitab Kaifa Nafhamut Tawassul, hal. 13). Pengaruh positif memahami dan mengamalkan tawassul dengan benar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan faidah yang agung ini di sela-sela penjelasan beliau tentang kaidah-kaidah dalam memahami tawassul yang benar dan sesuai dengan syariat Islam, beliau berkata, "Sesungguhnya, kaidah-kaidah ini berkaitan erat dengan penetapan tauhid (mengesakan Allah Ta'ala dalam beribadah) dan peniadaan unsur kesyirikan serta sikap ghuluw (melampaui batas dalam agama). (Sehingga jika) semakin diperinci keterangannya dan semakin jelas penyampaiannya, maka sungguh yang demikian itu adalah nuurun 'ala nuur (cahaya di atas cahaya), dan Allah Dialah tempat meminta pertolongan." (Kitab Qaa'idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah" (hal. 244). Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa tujuan pembahasan mengenai tawassul yang benar adalah [lihat keterangan Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali dalam muqaddimah kitab Qaa'idatun Jaliilah fit Tawassuli wal Wasiilah (hal. 20-21)]:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ "Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (QS. an-Nisaa': 171).Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang Nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah, 'Hamba Allah dan Rasul-Nya.'" (Hadits shahih riwayat al-Bukhari, no. 3261). Penutup Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya untuk memurnikan akidah dan tauhid mereka, serta menjauhkan mereka dari segala bentuk kesyirikan, yang besar maupun kecil. Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan nama-nama-Nya yang Mahaindah dan sifat-sifat-Nya yang Mahasempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita untuk selalu menegakkan tauhid kepada-Nya dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik, yang besar maupun kecil, serta menjaga kita dari semua bencana yang merusak agama dan keyakinan kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين Kota Kendari, 7 Shafar 1432 HPenulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. Artikel www.muslim.or.id |
Jumat, 27 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih