Bingung...? Mana yang harus kupilih...?
Dijawab oleh: Muhammad Wasitho, Lc
Bingung Pilih Calon Suami
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
Ustadz yang ana hormati, saya seorang janda yang berumur 28 tahun, punya 1 anak. Saya sekarang bekerja di negeri seberang, 2 tahun yang lalu saya diperkenalkan dengan seorang ikhwan yang bekerja di negeri jiran. Yang memperkenalkan saya adalah adik ikhwan tersebut melalui ponsel.
Menurut adiknya, ikhwan tersebut seorang aktivis dia juga jebolan pondok pesantren modern (Gontor). Saya simpati sama dia karena dia orangnya baik. Dengan perkenalan itu, akhirnya saya juga semangat belajar tentang agama. Subhanallah, sedikit-dikit saya mengetahui sunnah-sunnah Nabi, Hadits, Fikih, karena sebelumnya saya berasal dari keluarga awam.
Lama kelamaan di antara kami ada rasa suka. Akhirnya ikhwan tersebut pulang ke kampung halaman, beberapa bulan kemudian ikhwan tersebut bersilaturahim ke rumah saya, keluarga saya tahu hubungan kami. Tapi, keluarga saya tidak menyetujui, alasannya perbedaan umur. Dia jauh lebih tua dari pada saya perbedaannya antara 10 tahun lebih. Bagi saya tak ada masalah.
Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya.
Selain itu ada seorang ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah. Karena sebentar lagi saya juga mau pulang kampung. Ustadz, apa yang harus saya lakukan setelah pulang nanti? Jika saya teruskan hubungan dengan ikhwan tersebut, saya takut akan menimbulkan fitnah dunia, dan keluargaku tak ada yang setuju. Dan jika saya mundur, berarti saya menzhalimi dia, karena dia mengharapkan saya jadi pedampingnya.
Dan apa yang harus saya katakan kepada ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah, jika sementara ini saya masih ingin sendiri? Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuhu.
SDM Di Bumi Allah
Jawaban:
Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat.
Saudariku yang dirahmati Allah, pernikahan adalah sebuah bentuk usaha berkeluarga dan berketurunan yang dihalalkan Allah dengan cara menyatukan dua keluarga dalam sebuah ikatan silaturahmi yang menentramkan satu sama lain dan membahagiakan semua pihak. Karenanya, untuk tegaknya sebuah pernikahan yang memberi sakinah, mawaddah warahmah, maka hendaklah ada beberapa pihak yang dimintai persetujuan dan diajak bermusyarawah. Dalam hal ini yang paling utama adalah kedua orang tua (ayah dan ibu), lalu jika tidak ada ayah karena telah meninggal, maka pihak wali nikah, yaitu pengganti ayah (yang jalur hukumnya sama kedudukannya dengan ayah).
Adapun keluarga anda tidak menyetujui hubungan dan keinginan anda untuk menikah dengan ikhwan yang anda pandang baik dengan alasan perbedaan umur yang cukup jauh maka ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Karena dalam berumah tangga sebenarnya tidak ada patokan yang pasti untuk menilai jarak usia yang ideal bagi suami atau isteri, karena berapapun jarak usianya jika keduanya mampu menyeimbangkan perbedaan yang ada maka rumah tangga itu dapat langgeng jalannya.
Sebagaimana dahulu Rasulullah shallahu alaihi wasallam, beliau pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih tua seperti Khodijah binti Khuwailid, dan beliau juga pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih muda yaitu Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dan kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis dan langgeng sampai akhir hayat. Hal tersebut karena Rasulullah dan isterinya mampu menyesuaikan diri sehingga dapat menjembatani perbedaan yang disebabkan oleh usia.
Oleh karena itu, hendaklah anda menjelaskan dengan cara yang baik kepada keluarga anda (khususnya kedua orang tua), bahwa perbedaan umur yang cukup jauh antara calon suami dan calon istri bukanlah suatu aib dan kendala untuk berlangsungnya hubungan pernikahan. Apalagi jika laki-laki yang anda hendak menjadikannya sebagai suami atau pemimpin keluarga adalah orang yang baik agama dan akhlaknya, dan anda juga telah mencintainya. Hanya saja ada beberapa hal yang belum dapat kami fahami dengan jelas dari apa yang anda ceritakan, diantaranya ialah:
Perkataan anda, ‘Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya’. Apa yang anda maksud dengan fitnah dunia? Apakah maksudnya akan adanya ejekan dari tetangga kepada keluarga anda bila anda menikah dengan laki-laki yang usianya berbeda jauh lebih tua dari anda, atau bagaimana?
Adapun perasaan anda telah menzholimi ikhwan (laki-laki) yang telah mengharapkan anda menjadi pendamping hidupnya tersebut apabila mundur atau tidak jadi nikah dengannya, maka sesungguhnya –menurut pandangan kami- perasaan ini tidaklah benar, karena yang namanya kezholiman itu ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan mengurangi hak orang lain tanpa alasan yang benar menurut syariat atau meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya karena ada beberapa pertimbangan seperti diantaranya lebih memprioritaskan menjaga perasaan hati orang tua, memelihara kerukunan diantara keluarga anda dan lain sebagainya maka menurut kami bukan termasuk perbuatan zholim. Apalagi hubungan anda dengannya baru sebatas perkenalan dan adanya kecenderungan hati untuk menikah dengannya, belum ada ikatan atau janji apapun yang wajib ditepati.
Kemudian, kami juga ingin bertanya terlebih dahulu pada anda, apakah ikhwan (laki-laki) yang menanti anda di rumah telah memiliki hubungan atau keterikatan yang lebih jauh dari sebatas perkenalan? Ataukah mungkin ikhwan tersebut telah menjadi pilihan keluarga anda untuk dinikahkan dengan anda? Kalau memang demikian keadaannya, sementara anda sendiri tidak merasa cinta padanya, maka sampaikanlah perasaan anda yang sebenarnya kepada keluarga anda dengan cara yang baik agar mereka dapat memahami dan menerima alasan anda. Karena menikah dengan orang yang tidak anda cintai itu justru akan menimbulkan berbagai macam problema yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan diantara syarat sahnya pernikahan ialah adanya keridhoan dari kedua belah pihak, calon suami dan calon istri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Jadi, orang tua atau wali tidak sepantasnya memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya agar menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jika ini dilakukan maka wali atau orang tua berdosa. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Seorang remaja putri datang menemui Aisyah lalu berkata: “Ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya agar kerendahan (martabat)nya dapat terangkat, padahal aku tidak suka”. Aisyah berkata: “Duduklah sampai Rasulullah datang”. Tidak berapa lama datanglah Rasulullah, remaja putri inipun menceritakan halnya kepada beliau. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil ayahnya. Pada akhirnya beliau menyerahkan urusan pada remaja putri itu. Iapun berkata: “Wahai Rasulullah, saya dapat menerima apa yang diperbuat ayah saya, hanya saya ingin tahu apakah wanita mempunyai suatu kewenangan (dalam hal ini).” (Hadits Shahih riwayat An-Nasai (VI/87), Ibnu Majah no. 1874, Ahmad (VI/136), Ad-Daraquthni (III/232-233), Al-Baihaqi (VII/118) dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah).
Kemudian kami agak bingung juga memahami apa yang anda ungkapkan, di satu sisi anda merasa berbuat zholim kepada ikhwan yang anda cintai dan telah mengenalnya di negeri Jiran apabila mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya. Namun di sisi lain anda merasa bingung mau mengatakan apa kepada ikhwan yang telah menunggu anda di rumah dengan alasan masih ingin sendiri (belum ingin menikah). Dua pernyataan ini Nampak kontradiksi. Tetapi kemungkinan kalau tidak keliru –wallahu a’lam- kami memahami bahwa hati anda lebih cenderung kepada ikhwan yang pernah mengajari anda ilmu agama daripada ikhwan yang menanti anda di rumah. Kalau memang demikian, maka sebaiknya anda mengungkapkan kepadanya (ikhwan yang menanti anda di rumah) baik secara langsung atau dengan perantara orang lain yang anda percaya bahwa anda untuk saat ini belum bersedia menikah dengannya. Ini kami pandang perlu dilakukan supaya ikhwan tersebut mendapat kepastian jawaban dari anda dan ia bisa segera mencari akhwat pilihan lain yang hendak dijadikan pendamping hidupnya.
Kemudian, di sini kami ingin nasehatkan kepada para orang tua atau wali perempuan agar mereka segera menikahkan anak-anak gadis mereka dengan laki-laki yang sholih dan bertakwa. Sebab lelaki seperti itu bila ternyata mencintai anak gadisnya tentu memuliakannya, dan jika membencinya tidaklah menghinakannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.
[Telah dimuat dalam majalah Nikah SAKINAH volume 8 no. 11 tanggal 15 Februari 2009 – 15 Maret 2010]
dicopy dari sini
Bingung Pilih Calon Suami
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
Ustadz yang ana hormati, saya seorang janda yang berumur 28 tahun, punya 1 anak. Saya sekarang bekerja di negeri seberang, 2 tahun yang lalu saya diperkenalkan dengan seorang ikhwan yang bekerja di negeri jiran. Yang memperkenalkan saya adalah adik ikhwan tersebut melalui ponsel.
Menurut adiknya, ikhwan tersebut seorang aktivis dia juga jebolan pondok pesantren modern (Gontor). Saya simpati sama dia karena dia orangnya baik. Dengan perkenalan itu, akhirnya saya juga semangat belajar tentang agama. Subhanallah, sedikit-dikit saya mengetahui sunnah-sunnah Nabi, Hadits, Fikih, karena sebelumnya saya berasal dari keluarga awam.
Lama kelamaan di antara kami ada rasa suka. Akhirnya ikhwan tersebut pulang ke kampung halaman, beberapa bulan kemudian ikhwan tersebut bersilaturahim ke rumah saya, keluarga saya tahu hubungan kami. Tapi, keluarga saya tidak menyetujui, alasannya perbedaan umur. Dia jauh lebih tua dari pada saya perbedaannya antara 10 tahun lebih. Bagi saya tak ada masalah.
Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya.
Selain itu ada seorang ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah. Karena sebentar lagi saya juga mau pulang kampung. Ustadz, apa yang harus saya lakukan setelah pulang nanti? Jika saya teruskan hubungan dengan ikhwan tersebut, saya takut akan menimbulkan fitnah dunia, dan keluargaku tak ada yang setuju. Dan jika saya mundur, berarti saya menzhalimi dia, karena dia mengharapkan saya jadi pedampingnya.
Dan apa yang harus saya katakan kepada ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah, jika sementara ini saya masih ingin sendiri? Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuhu.
SDM Di Bumi Allah
Jawaban:
Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat.
Saudariku yang dirahmati Allah, pernikahan adalah sebuah bentuk usaha berkeluarga dan berketurunan yang dihalalkan Allah dengan cara menyatukan dua keluarga dalam sebuah ikatan silaturahmi yang menentramkan satu sama lain dan membahagiakan semua pihak. Karenanya, untuk tegaknya sebuah pernikahan yang memberi sakinah, mawaddah warahmah, maka hendaklah ada beberapa pihak yang dimintai persetujuan dan diajak bermusyarawah. Dalam hal ini yang paling utama adalah kedua orang tua (ayah dan ibu), lalu jika tidak ada ayah karena telah meninggal, maka pihak wali nikah, yaitu pengganti ayah (yang jalur hukumnya sama kedudukannya dengan ayah).
Adapun keluarga anda tidak menyetujui hubungan dan keinginan anda untuk menikah dengan ikhwan yang anda pandang baik dengan alasan perbedaan umur yang cukup jauh maka ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Karena dalam berumah tangga sebenarnya tidak ada patokan yang pasti untuk menilai jarak usia yang ideal bagi suami atau isteri, karena berapapun jarak usianya jika keduanya mampu menyeimbangkan perbedaan yang ada maka rumah tangga itu dapat langgeng jalannya.
Sebagaimana dahulu Rasulullah shallahu alaihi wasallam, beliau pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih tua seperti Khodijah binti Khuwailid, dan beliau juga pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih muda yaitu Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dan kehidupan rumah tangga mereka berjalan harmonis dan langgeng sampai akhir hayat. Hal tersebut karena Rasulullah dan isterinya mampu menyesuaikan diri sehingga dapat menjembatani perbedaan yang disebabkan oleh usia.
Oleh karena itu, hendaklah anda menjelaskan dengan cara yang baik kepada keluarga anda (khususnya kedua orang tua), bahwa perbedaan umur yang cukup jauh antara calon suami dan calon istri bukanlah suatu aib dan kendala untuk berlangsungnya hubungan pernikahan. Apalagi jika laki-laki yang anda hendak menjadikannya sebagai suami atau pemimpin keluarga adalah orang yang baik agama dan akhlaknya, dan anda juga telah mencintainya. Hanya saja ada beberapa hal yang belum dapat kami fahami dengan jelas dari apa yang anda ceritakan, diantaranya ialah:
Perkataan anda, ‘Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya’. Apa yang anda maksud dengan fitnah dunia? Apakah maksudnya akan adanya ejekan dari tetangga kepada keluarga anda bila anda menikah dengan laki-laki yang usianya berbeda jauh lebih tua dari anda, atau bagaimana?
Adapun perasaan anda telah menzholimi ikhwan (laki-laki) yang telah mengharapkan anda menjadi pendamping hidupnya tersebut apabila mundur atau tidak jadi nikah dengannya, maka sesungguhnya –menurut pandangan kami- perasaan ini tidaklah benar, karena yang namanya kezholiman itu ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan mengurangi hak orang lain tanpa alasan yang benar menurut syariat atau meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya karena ada beberapa pertimbangan seperti diantaranya lebih memprioritaskan menjaga perasaan hati orang tua, memelihara kerukunan diantara keluarga anda dan lain sebagainya maka menurut kami bukan termasuk perbuatan zholim. Apalagi hubungan anda dengannya baru sebatas perkenalan dan adanya kecenderungan hati untuk menikah dengannya, belum ada ikatan atau janji apapun yang wajib ditepati.
Kemudian, kami juga ingin bertanya terlebih dahulu pada anda, apakah ikhwan (laki-laki) yang menanti anda di rumah telah memiliki hubungan atau keterikatan yang lebih jauh dari sebatas perkenalan? Ataukah mungkin ikhwan tersebut telah menjadi pilihan keluarga anda untuk dinikahkan dengan anda? Kalau memang demikian keadaannya, sementara anda sendiri tidak merasa cinta padanya, maka sampaikanlah perasaan anda yang sebenarnya kepada keluarga anda dengan cara yang baik agar mereka dapat memahami dan menerima alasan anda. Karena menikah dengan orang yang tidak anda cintai itu justru akan menimbulkan berbagai macam problema yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan diantara syarat sahnya pernikahan ialah adanya keridhoan dari kedua belah pihak, calon suami dan calon istri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Jadi, orang tua atau wali tidak sepantasnya memaksakan kehendaknya kepada anak gadisnya agar menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Jika ini dilakukan maka wali atau orang tua berdosa. Ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Seorang remaja putri datang menemui Aisyah lalu berkata: “Ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya agar kerendahan (martabat)nya dapat terangkat, padahal aku tidak suka”. Aisyah berkata: “Duduklah sampai Rasulullah datang”. Tidak berapa lama datanglah Rasulullah, remaja putri inipun menceritakan halnya kepada beliau. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil ayahnya. Pada akhirnya beliau menyerahkan urusan pada remaja putri itu. Iapun berkata: “Wahai Rasulullah, saya dapat menerima apa yang diperbuat ayah saya, hanya saya ingin tahu apakah wanita mempunyai suatu kewenangan (dalam hal ini).” (Hadits Shahih riwayat An-Nasai (VI/87), Ibnu Majah no. 1874, Ahmad (VI/136), Ad-Daraquthni (III/232-233), Al-Baihaqi (VII/118) dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah).
Kemudian kami agak bingung juga memahami apa yang anda ungkapkan, di satu sisi anda merasa berbuat zholim kepada ikhwan yang anda cintai dan telah mengenalnya di negeri Jiran apabila mengambil sikap mundur atau tidak jadi menikah dengannya. Namun di sisi lain anda merasa bingung mau mengatakan apa kepada ikhwan yang telah menunggu anda di rumah dengan alasan masih ingin sendiri (belum ingin menikah). Dua pernyataan ini Nampak kontradiksi. Tetapi kemungkinan kalau tidak keliru –wallahu a’lam- kami memahami bahwa hati anda lebih cenderung kepada ikhwan yang pernah mengajari anda ilmu agama daripada ikhwan yang menanti anda di rumah. Kalau memang demikian, maka sebaiknya anda mengungkapkan kepadanya (ikhwan yang menanti anda di rumah) baik secara langsung atau dengan perantara orang lain yang anda percaya bahwa anda untuk saat ini belum bersedia menikah dengannya. Ini kami pandang perlu dilakukan supaya ikhwan tersebut mendapat kepastian jawaban dari anda dan ia bisa segera mencari akhwat pilihan lain yang hendak dijadikan pendamping hidupnya.
Kemudian, di sini kami ingin nasehatkan kepada para orang tua atau wali perempuan agar mereka segera menikahkan anak-anak gadis mereka dengan laki-laki yang sholih dan bertakwa. Sebab lelaki seperti itu bila ternyata mencintai anak gadisnya tentu memuliakannya, dan jika membencinya tidaklah menghinakannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Jika datang melamar anak gadismu seorang laki-laki yang engkau ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak gadismu itu). Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah (kekacauan) di muka bumi dan kerusakan yang besar.” [HR. At-Tirmidzi IV/364 no.1108 dan Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XVI/164 no.18213]Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.
[Telah dimuat dalam majalah Nikah SAKINAH volume 8 no. 11 tanggal 15 Februari 2009 – 15 Maret 2010]
dicopy dari sini
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih