Tajdid dalam Islam Sudah menjadi satu keniscayaan bahwa manusia tidak akan baik dan teratur kehidupannya tanpa agama yang benar, sebab itulah timbangan yang benar dan ukuran standar dalam mengenal kebenaran dan keadilan dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah menyatakan kaidah penting dalam kewajiban berpegang teguh (komitmen) kepada ajaran Rasul dan penjelasan bahwa kebahagian dan petunjuk hanyalah pada ittiba' Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan kesesatan dan kesengsaraan pada menyelisihinya. Seluruh kebaikan yang ada, baik yang umum ataupun yang khusus bersumber dari sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh keburukan di alam ini yang khusus berhubungan dengan hamba disebabkan karena menyelisihi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau ketidaktahuan terhadap ajaran beliau. (Lihat Majmu' Al-Fatawa, 19/93). Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menjelaskan kebutuhan hamba kepada para rasul utusan Allah dalam ungkapan beliau, "Tidak ada jalan menggapai kebahagian dan kesuksesan di dunia dan akhirat, kecuali ada di tangan mereka. Tidak ada juga cara mengenal yang baik dan buruk secara terperinci kecuali dari sisi mereka. Demikian juga tidak dapat diraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala sama sekali kecuali di tangan mereka. Yang baik dari perilaku, perkataan dan akhlak hanyalah ada pada petunjuk dan ajaran mereka. Merekalah timbangan yang pas untuk menimbang seluruh perkataan dan perbuatan, serta akhlak manusia dengan perkataan dan perbuatan serta akhlak mereka. Dengan mengikuti mereka terpisahlah orang yang mendapat petunjuk dengan yang sesat. Kebutuhan mendesak kepada para rasul lebih besar dari pada kebutuhan badan kepada ruhnya dan mata kepada cahayanya, serta ruh kepada kehidupannya. Semua kebutuhan yang harus ditunaikan segera, maka kebutuhan mendesak kepada para rasul di atas itu semua." (Lihat Zaad Al-Ma'ad, 1/79). Beliaupun menambahkan, "Apabila kebahagian hamba di dunia dan akhirat bergantung kepada petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka wajib pada setiap orang yang ingin kebaikan untuk dirinya dan ingin kesuksesan dan kebahagian untuk mengetahui ajaran, sejarah hidup dan semua urusan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat mengeluarkannya dari lingkungan orang-orang bodoh dan memasukkannya ke dalam hitungan pengikut, pendukung dan golongan beliau shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Zaad Al-Ma'ad, 1/79). Dengan demikian, agama yang benar sangat dibutuhkan dalam memperbaiki manusia di dunia dan akhiratnya. Sebagaimana tidak ada kebahagian seseorang di akhirat kecuali dengan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Juga tidak akan baik dalam dunia dan kehidupannya kecuali dengan mengikuti ajaran agama yang benar. Seluruh manusia sangat membutuhkan ajaran agama dalam seluruh keadaannya, karena manusia memiliki dua gerakan; gerakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan gerakan untuk menolak dan mencegah ke-mudharat-an. Agama inilah yang menjadi cahaya yang menjelaskan kemanfaatan dan ke-mudharat-an (Lihat Majmu' Al-Fatawa, 19/99). Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul membawa ajaran Islam yang universal kepada seluruh umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لآ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِ وَيُمِيتُ فَئَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ "Katakanlah, 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimAt-kalimAt-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk'”. (QS. Al-A'raf: 158).Di samping itu juga menjaga agama ini dengan menjaga Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari seluruh upaya pengurangan dan penambahan. Sehingga, Islam akan menjadi ajaran yang terjaga dan kekal sampai hari kiamat nanti. Ke-bid'ah-an Semarak Tidak dipungkiri lagi Islam terjaga, namun terkadang pengamalan Islam itu melemah dan terjadi pengurangan dan pertambahan yang dimasukkan ke dalam ajaran yang mulia ini. Karena itu, nampak bermunculan ke-bid'ah-an dan perkara yang menyelisihi syariat, serta hilangnya beberapa sunnah dengan sebab itu. Kerena lemahnya pengamalan atau bahkan hilangnya pengamalan ajaran Islam pada sebagian besar kaum muslimin, maka umat Islam membutuhkan orang yang memperbarui agama ini dengan mengembalikannya kepada keaslian dan kemurnian ajaran suci ini. Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Pemurah dan Penyayang memberikan anugerah-Nya kepada umat ini dengan dimunculkannya para mujaddid yang mengikuti jejak langkah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam agar menghidupkan kembali ajaran Islam dan mematikan ke-bid'ah-an, serta mengembalikan umat ini untuk komitmen terhadap ajaran agamanya yang benar. Tajdid Satu Istilah Syar'i Istilah At-Tajdid adalah istilah syar'i yang bersumber kepada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi, إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya." (HR. Abu Daud no. 3740 dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, no. 599).Istilah ini berasal dari bahasa Arab dari kata (جَدَّدَ) dan (جَدِيْدٌ). Kata Al-Jadid banyak digunakan dalam Alquran dan As-Sunnah atau dalam penggunaan para ulama. Bila kita melihat pengertian etimologi bahasa Arab tentang kata "At-Tajdid" dan kata turunannya ternyata kembali kepada pengertian menghidupkan (الإِحْيَاء), membangkitkan (البعْثُ) dan mengembalikan (الإِعَادَةُ). Sehingga ada tiga unsur makna yang terkandung dalam kata tersebut yaitu keberadaan sesuatu (وُجُوْد كَوْنِيَة) kemudian hancur atau hilang (بَلَى أو دُرُوْس) kemudian dihidupkan dan dikembalikan (الإِحْيَاء أو الإعَادَة). (Mafhum Tajdid Ad-Dien, Bisthami Muhammad Sa'id, hal. 18). Karena istilah ini bersumber kepada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hanya sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sajalah yang dapat menentukan pengertian yang benar terhadap istilah "At-Tajdid" dan ketentuan-ketentuannya. Kata "At-Tajdid" dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sama dengan pengertian bahasa di atas yaitu menunjukkan pengertian kebangkitan, menghidupkan dan mengembalikan. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu 'anhu yang berbunyi, إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَخْلَقُ فِيْ جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْب ، فَاسْأَلُوْا اللهَ أَنْ يُجَدِّدُ الإِيْمَانَ فِيْ قُلُوْبِكُمْ “Sesungguhnya iman akan rusak di hati salah seorang kalian sebagaimana rusaknya baju, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengembalikan iman dalam kalbu kalian." Sebuah Pengertian yang Benar Sebuah realita kalau pengertian istilah "At-Tajdid" banyak diperselisihkan orang dan disimpangkan dari pengertian yang benar. Berapa banyak orang mendefinisikannya dengan beragam definisi yang menyimpang dari islam. Padahal semua mengerti kalau istilah ini bersumber dari hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga pasti pengertian yang benar tentang istilah ini adalah yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan disampaikan kepada para sahabat. Kemudian Sahabat telah menyampaikannya kepada generasi setelahnya secara bersambung dan estafet. Oleh karena orang yang berhak menjelaskan pengertian istilah syar'i ini adalah para ulama salaf dari kalangan sahabat, tabiin dan tabiit tabiin serta para imam besar yang sudah terkenal dan masyhur serta diterima kaum muslimin generasi demi generasi. Berikut ini pernyataan mereka tentang pengertian istilah At-Tajdid secara global (Semua pernyataan dalam masalah ini penulis nukilkan dari kitab Tajdid ad-Din, Mafhum wa Dhawaabith wa Atsaarahu, Prof. DR. Muhammad bin Abdulaziz al-'Ali secara ringkas dari hlm. 40-49) : 1. Pengajaran agama dan menghidupkan sunnah-sunnah serta menolak kedustaan atas nama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini dijelaskan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam pengertian tajdid. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah membangkitkan untuk manusia dalam setiap seratus tahunnya orang yang mengajarkan sunah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menolak dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kedustaan.” (Lihat Taarikh al-Baghdadi, 2/62). 2. Memurnikan agama, membela akidah yang benar dan menjelaskan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta membela ahlinya dan menghancurkan ke-bid'ah-an. Al-Munaawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang tajdid dalam agama menyatakan, “Maksudnya adalah menjelaskan sunnah dari bidah, memperbanyak ilmu, membela ahli ilmu dan menghancurkan kebidahan dan merendahkannya.” (Lihat Faidh Al-Qadir,2/281). Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan, “Diriwayatkan dalam satu hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus setiap seratus tahun orang yang memurnikan agamanya.” (Lihat Shofwat ash-Shofwah, 2/13). 3. Menghidupkan semua yang telah melemah dan menghilang dari ma'alim (syiar) agama. Juga menghidupkan semua perkara sunnah yang telah hilang dan semua ilmu akidah dan ibadah yang telah samar. Abu Sahli Ash-Shu'luuki (wafat tahun 369 H.) pernah berkata tentang tajdid, “Allah telah mengembalikan agama ini setelah hilang mayoritasnya dengan Ahmad bin Hambal.” (Lihat Tabyiin Kadzib al-Muftari, hal. 53). 4. Menghidupkan ilmu (Ihyaa Al-Ilmi) sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ : يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ وَ إِنْتِحِالَ الْمُبْطِلِيْنَ "Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya pada setiap generasi: mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas, ta'wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh, dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan." (HR. Ibnu 'Adi, Al-Baihaqi, Ibnu 'Asakir, Ibnu Hibban, dll,; dinyatakan berderajat hasan oleh Syeikh Salim bin 'Ied al-Hilali dalam Hilyatul 'Alim Al-Mu'allim, hal. 77, juga oleh Syeikh Ali bin Hasan di dalam At-Tashfiyah wat Tarbiyah).5. Membangkitkan kembali upaya mengamalkan Alquran dan sunnah Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan manusia dan mengembalikan peristiwa dan hal yang baru kepada isi kandungannya. Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Alqami (wafat tahun 969 H) menyatakan, "Pengertian Tajdid adalah menghidupkan kembali pengamalan Al-Qur`an dan Sunnah serta perintah mengamalkan kandungan keduanya.” (Lihat 'Aunul Ma'bud, 4/178 dan Faidhul-Qadir 2/281). Sedangkan imam Al-Munaawi menjelaskan sebab perlunya tajdid dalam ungkapan beliau, “Hal ini karena Allah Ta’ala menjadikan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul (Khatamul anbiya'war rusul), padahal peristiwa dan kejadian tak terhitung jumlahnya dan mengenal hukum agama sudah menjadi kelaziman hingga hari kiamat. Disamping itu zhahir nash-nash syariat belum bisa menjelaskannya secara sempurna, bahkan harus ada cara yang sempurna dalam masalah ini, maka hikmah Allah menuntut munculnya satu kaun dari para ulama di awal setiap abad yang menanggung beban menjelaskan kejadian-kejadian tersebut untuk memperlakukan umat ini bersama ulama mereka sebagaimana perlakuan pada bani israil bersama nabi-nabi mereka.” (Lihat Faidhul Qadir, 1/10). 6. Ta'shil Al-Ilmi (membuat kaidah-kaidah dasar ilmu yang benar) dan mengajak orang untuk mengambil agamanya dari sumbernya yang asli melalui para ulama disertai dengan tarbiyah (pendidikan) manusia diatas pemahaman agama yang benar. Demikianlah beberapa pernyataan ulama terdahulu seputar tajdid yang nampaknya berbeda namun memiliki satu kesamaan dalam memahami istilah tajdid ini. Hal ini dapat diungkapkan dalam ungkapan berikut ini:
Wallahu a'lam. Penulis Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel www.ustadzkholid.com |
Minggu, 05 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih