Cukuplah Kematian Sebagai Nasehat...!
Tema  pembicaraan kali ini adalah mengenai sebuah ayat al-Qur’ān yang  sekiranya diturunkan kepada gunung niscaya luluh lantak; yang apabila  direnungkan oleh pembacanya maka hatinya bergetar ketakutan dan air  matanya mengalir; yang jika dihayati oleh orang yang bergelimang maksiat  maka ia bertaubat; serta bila dipahami oleh siapa saja yang berpaling  dari seruan Allāh maka ia pun bersegera kepadanya-Nya. Ayat yang  menyebutkan tentang pintu gerbang dari sebuah perjalanan panjang nan  berat….
كُلُّ  نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ  الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ  فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap  yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat  sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan  dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan  dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Āli `Īmrān [3]: 185.)
Kematian  adalah langkah awal dari perjalanan agung yang memisahkan suami dari  istrinya, orang tua dari anaknya, kekasih dari yang dicintainya dan  saudagar dari kekayaannya. Perjalanan yang bermuara kepada keabadian;  kenikmatan Surga atau kesengsaraan Neraka. Kematian merupakan hal yang  diyakini namun sering kali sengaja dilupakan atau terlupakan; perkara  yang diketahui akan tetapi begitu banyak diabaikan. Karena itulah, Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—mengingatkan,
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ – يَعْنِي الْمَوْت
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (yakni kematian).” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2307, Ibn Mājah II/1422/4258, dan lain-lain.]
Dalam rangka mengingat kematian Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—menganjurkan ziarah kubur. Beliau bersabda,
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمْ الْآخِرَةَ
“Dahulu  aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur. Namun saat ini lakukanlah  ziarah kubur, karena hal itu mengingatkan kalian terhadap akhirat.” [Ash-Shahīhah II/545/886.]
Dahulu,  jika Khalīfah `Utsmān Ibn `Affān berdiri di daerah kuburan maka beliau  menangis hingga basah jenggot beliau. Ada yang bertanya, “Disebutkan  Surga dan Neraka namun Anda tidak menangis, maka mengapa Anda menangis  karena kuburan ini?” `Utsmān menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar  Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,
إِنَّ  الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا  بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ  أَشَدُّ مِنْهُ
“Sungguh,  kubur merupakan tempat pertama dari akhirat. Jika seseorang selamat  darinya, maka yang berikutnya akan lebih mudah. Namun, jika ia tidak  selamat, maka yang berikutnya akan lebih keras lagi.”
`Utsmān melanjutkan, “Rasulullah—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—juga bersabda,
مَا رَأَيْتُ مَنْظَراً قَطُّ إِلاَّ وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Tidaklah aku melihat suatu pemandangan pun (di dunia) melainkan kuburan lebih buruk darinya.” [Riwayat at-Tirmidzi IV/553/2308; Ibn Mājah II/1426/4267; Ahmad I/63/454; dan lain-lain.]
Suatu ketika `Ali  Ibn Abī Thālib melewati daerah pekuburan. Beliau mengucapkan salam lalu  berkata, “Wahai para penghuni kubur, istri kalian maka telah dinikahi,  rumah kalian telah dihuni dan harta kalian telah dibagi. Inilah kabar  dari kami, maka bagaimana kabar kalian?” [Tasliyah Ahl al-Mashā'ib, hal. 194 dan al-`Āqibah fī Dzikri'l Maut, hal. 196.]
Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—pernah ditanya, “Siapakah yang paling cerdik dari kalangan kaum mukminin?” Beliau menjawab,
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولئِكَ الْأَكْيَاسُ
“Orang  yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya  untuk setelah kematian. Mereka itulah orang-orang yang cerdik.” [Shahīh at-Targhīb wa't Tarhīb III/164/3335.]
Ulama Salaf berkata,
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا
“Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat.” [Lihat Shifah ash-Shafwah vol. I, hal. 639; al-`Āqibah fī Dzikri'l Maut, hal. 43; dan al-Ihyā', vol. IV, hal. 450. Adapun hadits Nabi s.a.w. dengan lafal dimaksud, maka tidak valid.]
Ka`b berkata, “Barangsiapa mengenal kematian, niscaya menjadi remehlah segala musibah dan kegundahan dunia.” [Al-Ihyā', vol. IV, hal. 451.]
Terkadang  seseorang menyadari tengah jauh dari-Nya, sehingga terpuruk dalam  kehampaan jiwa yang demikian menyakitkan, meskipun secara zahir  dikelilingi oleh kenikmatan duniawi. Ia ingin keluar dari kondisi  tersebut, namun ia bingung untuk mencari penawar yang praktis dan tepat.  Mengingat kematian adalah kunci dari obat rohani yang sangat efisien  dan ampuh. Apapun bentuk kesenangan yang melenakan dan menjauhkan  dari-Nya, baik berupa harta, wanita, jabatan, anak-anak dan lain  sebagainya, seluruhnya akan terputus oleh kematian. 
Salah  satu penyebab utama kerusakan kalbu yang menimpa banyak orang sehingga  mereka terjerumus ke dalam kubangan dosa dan maksiat adalah karena  jauhnya mereka dari mengingat dan menghayati kematian yang menanti di  depan mereka. Karena itu Rabī` Ibn Abī Rāsyid berkata,
لَوْ فَارَقَ ذِكْرَ الْمَوْتِ قَلْبِيْ سَاعَةً لَخَشِيْتُ أَنْ يَفْسدَ عَلَيَّ قَلْبِيْ
“Sekiranya kalbuku terpisah sesaat saja dari mengingat kematian, maka aku benar-benar khawatir kalbuku menjadi rusak.” [Lihat Shifah ash-Shafwah, vol. III, hal. 109; dan az-Zuhd, Ibnu'l Mubārak, hal. 90. Dalam al-Ihyā', vol. IV, hal. 451, ucapan tersebut dinisbatkan kepada ar-Rabī` Ibn Khutsaim, namun yang  tepat adalah sebagaimana telah disebutkan. Allāhu a`lam.]
Seorang  wanita pernah mendatangi `Āisyah untuk mengeluhkan tentang kekerasan  kalbu. `Āisyah berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, niscaya kalbu  itu akan menjadi lembut (baik).” 
Dikisahkan  bahwa ar-Rabī` Ibn Khutsaim menggali kuburan di tempat tinggalnya dan  tidur di dalamnya beberapa kali dalam sehari, agar selalu mengingat  kematian. 
`Umar  Ibn `Abdu’l `Azīz berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian. Sekiranya  engkau hidup dalam kelapangan maka hal itu akan menyempitkanmu. Namun  apabila engkau hidup dalam kesempitan maka hal itu akan melapangkanmu.” [Al-Ihyā', vol. IV, hal. 451.]
Tidak  cukupkah kematian sebagai nasehat? Bayangkanlah ketika datangnya  kematian dengan sekaratnya, alam kubur dengan kesunyian dan  kegelapannya, hari kebangkitan dengan detail perhitungannya, serta  Neraka dengan siksanya yang kekal atau Surga dengan kenikmatannya nan  abadi.
Kita  masih saja terperdaya oleh kelezatan dunia yang fana. Saat kematian  membawa kita ke kubur, adakah kenikmatan dunia yang masih terasa?  Semuanya musnah tak berbekas. Mana rumah yang megah, pakaian yang indah,  wajah yang rupawan, tubuh yang bagus, istri yang jelita, kekasih yang  dicintai, anak yang dibanggakan, jabatan yang tinggi dan kedudukan yang  terhormat? Kita terbenam dalam tanah. Di atas, bawah, kanan dan kiri  kita hanyalah tanah. Tiada kawan kecuali kegelapan yang sangat pekat,  kesempitan dan serangga yang menggerogoti daging kita. Kita benar-benar  mengharapkan kumpulan amal shalih yang mendampingi dan membantu kita,  namun sayangnya harapan dan penyesalan tidak lagi berguna.
Kita  menganggap kematian itu berada pada posisi yang sangat jauh dari kita,  padahal ia begitu dekatnya. Waktu berlalu bagaikan kedipan mata. Masa  kecil dan remaja bertahun-tahun yang lalu hanyalah bagai hari kemarin,  dan tanpa terasa kita telah berada di hari ini. Begitu pula yang akan  terjadi dengan esok hari. Sampai kemudian kematian tiba-tiba datang  menjemput kita untuk mengarungi sebuah perjalanan yang sangat penjang  dan berat, sementara kita belum memiliki bekal untuk itu, karena  kesengajaan dan kelalaian kita. 
Semoga ada manfaatnya. 
Salam, 

0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih