Sabar Menghadapi Cobaan Dunia adalah negeri cobaan. Manusia senantiasa diuji dan diberikan cobaan baik cobaan musibah atau cobaan kesenangan. Cobaan kesenangan dan kemudahan membutuhkan sikap bersyukur. Syukur atas nikmat kesenangan ini termasuk ketaatan yang juga membutuhkan kesabaran. Sehingga tidak bisa bersyukur kecuali dengan sabar dalam melaksanakan ketaatan. Ibnul Qayyim menyatakan dalam kitab ‘Idatush Shabirin: Semua yang dijumpai seorang hamba didunia ini tidak lepas dari dua jenis; Pertama yang sesuai dengan hawa nafsu dan kehendaknya, dan kedua yang menyelisihinya. Ia butuh kepada sabar dalam keduanya. Adapun jenis yang sesuai dengan keinginannya seperti sehat, keselamatan, dapat jabatan dan harta serta beraneka ragam kelezatan yang mubah. Ini lebih butuh kepada sabar dari beberapa sisi, 1. Tidak bergantung dan terpedaya dengannya serta tidak membuatnya sombong dan prilaku tercela yang tidak Allah sukai. 2. Tidak tenggelam dalam mencarinya dan berlebihan dalam mencapainya, karena bisa berbalik menjadi sebaliknya. Siapa yang berlebihan dalam makan, minum dan jima’ maka akan berbalik dan diharamkan makan, minum dan jima’ tersebut. 3. Bersabar dalam menunaikan hak Allah pada kenikmatan tersebut dan tidak menyia-nyiakannya hingga Allah mencabutnya. Demikian juga bila diuji dengan musibah dan cobaan kesulitan, maka dibutuhkan kesabaran menghadapi takdir Allah dengan ridha dan menerimanya. Sehingga tepatlah bila dikatakan sabar selalu dibutuhkan setiap insan sampai meninggalkan dunia ini. Apalagi dizaman kiwari ini, dimana Indonesia terus-menerus diuji dengan musibah yang silih berganti. Belum lagi yang menimpa pribadi dan individu masyarakatnya. Wah kalau begitu kita harus banyak bersabar donk! Allah berfirman, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155) Demikianlah Allah menguji hambanya dengan hal-hal berikut, 1. Sedikit ketakutan dan tidak seluruhnya. 2. Kelaparan yang dapat difahami dalam dua makna,
4. Kekurangan jiwa berupa kematian 5. Kekurangan buah-buahan. Orang dalam menyikapi hal ini ada beberapa tingkatan, 1. Marah dan murka. Hal ini dapat terjadi dengan hati, lisan atau anggota tubuh. Marah dengan hati berupa adanya ketidak sukaan terhadap Allah seperti merasa Allah telah mendzaliminya dan sebagainya. Marah dengan lisan berupa mencela takdir atau mencela waktu dengan lisannya. Sedangkan marah dengan anggota tubuhnya dilakukan dengan cara misalnya memukul pipi, menjambak rambut atau merobek-robek pakaiannya. Orang yang demikian tidak mendapatkan pahala atas musibah tersebut bakan mendapatkan dosa. 2. Bersabar dengan menahan diri, tidak mengucapkan dan berbuat sesuatu yang dimurkai Allah dan tidak ada dihatinya perasaan menyalahkan Allah, walaupun ia tidak menyukai musibah tersebut. Orang seperti ini mendapatkan pujian dari Allah dalam firmanNya, "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,’Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 155-157). 3. Ridha dengan lapang dada menerima musibah tersebut dan meridhainya seakan-akan tidak terkena mushibah. Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sabar diatas. 4. Bersyukur dengan memuji Allah atas musibah tersebut. Seperti dicontohkan Rasulullah dalam hadits A’isyah beliau berkata, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَا يُحِبُّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ وَإِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ “Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam apabila melihat apa yang ia sukai menyatakan, ‘Alhamdulillah Alladzi bini’matihi Tatimmu Al Shalihaat.’ Dan bila melihat (mendapati) sesuatu yang tidak beliau sukai mengucapkan, ‘Alhamdulillahi ‘Ala Kulli Halin.’” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ no. 4727).Mensyukuri Allah karena Allah memberikan pahala atas musibah tersebut lebih banyak dari yang menimpanya. Kapan dikatakan sabar. Seorang dikatakan telah sabar menerima musibah apabila telah melakukan hal-hal berikut, 1. Tidak ada dihatinya perasaan buruk sangka kepada Allah dan takdirnya. 2. Amalannya tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah. 3. Lisannya tidak mencela Allah, takdirnya atau masa, bahkan lisannya mengucapkan, 'Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un' sebagaimana dalam ayat diatas. Akan lebih baik lagi bila ditambah dengan doa yang diajarkan Rasululah kepada kita dalam hadits Ummu Salamah, سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, "Tidak ada seorang muslim yang tertimpa musibah lalu menyatakan apa yang Allah perintahkan, 'Innaa lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un Allahumma’ Jurni fi mushibatie wa Akhlif li Khairan minha.' Kecuali Allah gantikan baginya yang lebih baik." (HR. Muslim).Mudah-mudahan kita dapat mendapatkan tingkatan tertinggi dari tingkatan sabar dan paling tidak kita masih ditetapkan sebagai orang yang sabar. Selamat berlatih sabar! Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel www.ustadzkholid.com |
Kamis, 02 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 tanggapan:
Posting Komentar
dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih