Selasa, 21 Juni 2011

Beda Pendapat atau Beda Pendapatan.. sih..?

Beda Pendapat atau Beda Pendapatan...?

Di kantor, kadang sebagian rekan berkelakar, “Pendapat saya sih sedari dulu sudah sama dengan pimpinan perusahaan, hanya pendapatan saja yang masih beda!” Saya kemudian jadi ingat sebuah rumor yang berhembus di kalangan sejumlah penggiat dakwah, bahwa perselisihan—atau katakanlah: perpecahan—di kalangan para pengaku Salafi adalah lebih dikarenakan “beda pendapatan” dibandingkan “beda pendapat”. Rumor tersebut memang tidak dapat dibuktikan sebagai kebenaran, namun juga tidak dapat seratus persen dipastikan salah.
Kenyataannya, salah satu penyebab perpecahan internal dimaksud adalah adanya beda pendapat dalam hal muamalah—atau lebih spesifik: pengambilan dana—kepada beberapa yayasan tertentu, sebut saja semisal Ihyā’ at-Turāts. Sebagian besar pihak yang “mengharamkan” pengambilan dana tersebut lalu meng-hajr (memboikot) dan men-tahdzīr (memberi peringatan keras) pihak yang membolehkan. Tidak hanya sebatas itu, bahkan orang-orang yang berhubungan dengan pihak yang membolehkan itu pun juga turut merasakan hajr dan tahdzir.

Saya juga lalu jadi ingat pidato kenegaraan perdana `Umar ibn `Abd al-`Azīz ketika didapuk sebagai pucuk pimpinan tertinggi kaum Muslim (amīr al-mu’minīn) pada zamannya, sebagaimana direkam oleh Ibn al-Jauzi dalam salah satu kitabnya, Shifah ash-Shafwah.
`Umar ibn `Abd al-`Azīz berkata,
أوصيكم بتقوى الله فإن تقوى الله خلف من كل شيء ليس من تقوى الله عز وجل خلف فاعملوا لآخرتكم فإنه من عمل لآخرته كفاه الله تبارك وتعالى أمر دنياه وأصلحوا سرائركم يصلح الله الكريم علانيتكم وأكثروا ذكر الموت وأحسنوا الاستعداد قبل أن ينزل بكم فإنه هادم اللذات….
وإن هذه الأمة لم تختلف في ربها عز وجل ولا في نبيها ولا في كتابها إنما اختلفوا في الدينار والدرهم….
يا أيها الناس من أطاع الله فقد وجبت طاعته ومن عصى الله فلا طاعة له أطيعوني ما أطعت الله فإذا عصيت الله فلا طاعة لي عليكم.
“Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allāh. Karena sesungguhnya taqwa kepad Allāh merupakan pengganti segala sesuatu, sedangkan tidak ada pengganti dari taqwa kepada Allāh—`Azza wa Jalla. Beramallah untuk akhirat kalian. Karena sesungguhnya siapa saja yang beramal untuk akhiratnya niscaya Allāh—Tabaraka wa Ta`ālā—mencukupinya dalam hal perkara dunianya. Perbaikilah apa-apa yang tersembunyi dari kalian, niscaya Allāh yang Maha Mulia akan memperbaiki apa-apa yang tampak dari kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan perbaguslah persiapan sebelum kedatangannya, karena sesungguhnya kematian itu adalah pemusnah segala kelezatan….
Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Rabbnya—`Azza wa Jalla—dan tidak pula tentang Nabinya, serta tidak pula tentang kitab (suci)nya. Hanyalah mereka berselisih dalam hal dinar dan dirham….
“Hai sekalian manusia, barangsiapa yang taat kepada Allāh maka wajiblah mentaatinya, dan barangsiapa yang memaksiati Allāh maka tidak ada ketaatan baginya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allāh, dan jika aku memaksiati-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kalian kepadaku.” [Shifah ash-Shafwah, vol. II, hlm. 114-115.]

Tesis `Umar ibn `Abd al-`Azīz jelas menyebutkan bahwa faktor utama perselisihan umat adalah masalah kekayaan. Mungkin dapat dikatakan itulah komponen krusial penyebab terjadinya insiden berdarah perebutan kekuasan yang berulang kali mewarnai sejarah perjalanan umat Islam. Sekiranya kekuasaan itu terpisah total dari kekayaan, mungkin tidak akan ada orang yang berambisi merebut kekuasaan.
Secara psikologis, merupakan karakter manusia pada umumnya untuk senang melihat orang lain yang senasib atau sama-sama susah. Ketika seorang pegawai, misalnya, murka karena melihat rekannya menerima suap (risywah), maka bisa jadi kemurkaan tersebut karena keharaman perbuatan tersebut, namun bisa jadi juga kemurkaan itu jadi membesar karena adanya keinginan agar sang rekan tetap sama-sama “melarat” dengannya. Kemarahannya bukan semata-mata karena tindak keharaman, di mana hal ini diakomodir oleh syara’, namun juga karena income sang rekan jadi mengungguli dirinya, di mana kemarahan semacam ini bersumber dari hawa nafsu.
Terjadinya kesenjangan di kalangan sebagian ulama, ustadz dan dai terkadang bukan semata-mata dipicu oleh perbedaan pendapat, namun bisa jadi karena kecemburuan atas bisikan-bisikan duniawi yang dihembuskan oleh setan dan hawa nafsu, seperti popularitas, penghasilan, pengikut dan lain-lain. Hal yang dapat dimaklumi—meskipun tentunya tidak dapat dibenarkan—mengingat mereka adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan. Saya memiliki (fotokopi) kitab berjudul Tahāsudu’l `Ulamā’ (Sikap Saling Dengki di Kalangan Ulama), dengan tebal lebih dari 500 halaman. Buku itu mengisahkan sikap hasad (dengki) yang kadang terjadi antar sesama ulama dari zaman ke zaman. [Mungkin di lain waktu jika Allāh mengizinkan, in syā-a'Llāh, kita dapat membahas hal ini secara terpisah.]
Lha, apa kaitan contoh di atas dengan perpecahan internal di kalangan pengaku Salafi? Ah, saya rasa pembaca budiman dapat menyimpulkan sendiri benang merah antara kedua hal tersebut. Saya tegaskan bahwa saya tidak sedang menuduh niat pihak tertentu. Bukan itu maksud saya. Niat adalah urusan yang bersangkutan dengan Allāh, yang tidak diketahui oleh orang lain. Saya hanya ingin mengajak introspeksi, agar implementasi hajr yang dipicu oleh perbedaan pendapat jangan sampai dikotori oleh hawa nafsu. Di samping itu, dalam masalah dimaksud pun seharusnya tidak diterapkan hajr, karena masih debatable di kalangan ulama.
Ibn Taimiyyah berkata,
فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجرا غير مأمور به كان خارجا عن هذا وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله
“Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya, atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan, maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa seringnya jiwa-jiwa itu melakukan apa yang diinginkan hawa nafsu, namun menyangka bahwa ia melakukannya karena ketaatan kepada Allah.” [Majmū` al-Fatāwā, vol. XXVIII, hlm. 207.]
Nabi—`alaihi’sh shalatu wa’s salam—bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk diibadahi oleh orang-orang yang shalat, namun ia merusak relasi di antara mereka.” [Shahīh al-Jāmi` no. 1651.]
Semoga ada manfaatnya.
Salam,
Adni Abu Faris an-Nuri
tulisan dicopy dari sini

2 tanggapan:

alfurqoncell mengatakan...

Pa lagi perbedaan pendapat dikalangan manula....

Unknown mengatakan...

@kang Naryo Celluler
hehehehehe

Posting Komentar

dipersilahkan untuk memberikan tanggapan, dengan memperhatikan adab sopan santun, dan ma'af jika saya tidak menampilkan komentar anda yang hanya ingin mengajak berdebat (kecuali jika memang perlu saya tanggapi akan saya berikan tanggapan) terima kasih